Part 39

162 91 11
                                        

••••••~~ HAPPY READING GUYS ~~••••••
                                ~✨~
                                ~✨~
                                ~✨~
                                ~✨~
                  
                         ••••••💫••••••

Setelah menyadari perubahan dalam lingkungannya, Hana semakin fokus pada dirinya sendiri. Ia mulai menikmati setiap rutinitas barunya lari pagi sebelum sekolah, latihan vokal setelah jam pelajaran selesai, dan sesekali menghabiskan waktu bersama teman-temannya tanpa terlalu banyak memikirkan orang lain.

Namun, di balik itu semua, ada satu hal yang belum ia sadari: perubahan dalam hubungannya dengan Ryan.

Meskipun mereka masih bersama, perasaan mereka tak lagi seperti dulu. Bukan karena ada orang ketiga, bukan karena ada perdebatan besar, tapi lebih kepada bagaimana mereka mulai menjalani hidup masing-masing dengan arah yang berbeda.

Ryan yang dulu selalu memperhatikan Hana kini mulai lebih sibuk dengan dunianya sendiri. Ia tetap ada, tetap menemani, tapi tidak seintens dulu. Obrolan mereka tetap ada, tapi kadang terasa lebih datar.

Sampai suatu hari, Hana dan Ryan akhirnya duduk berdua di taman sekolah saat istirahat.

“Hana, belakangan ini kita jarang ngobrol seperti dulu, ya?” Ryan membuka percakapan dengan suara tenang.

Hana mengangguk pelan. “Iya, mungkin kita sama-sama sibuk.”

Ryan menatap Hana sebentar, lalu tersenyum kecil. “Menurutmu... kita masih sama seperti dulu?”

Hana terdiam. Pertanyaan itu sederhana, tapi entah kenapa terasa berat di dadanya.

Dan di sinilah cerita mereka mulai menuju persimpangan baru.

Hana dan Ryan duduk di bangku taman sekolah, di bawah pohon rindang yang memberi sedikit keteduhan dari terik matahari. Suasana terasa tenang, hanya ada suara angin yang berhembus pelan di antara mereka.

Ryan memandang Hana dengan tatapan yang sulit diartikan. “Menurutmu… kita masih sama seperti dulu?”

Hana menggigit bibir bawahnya, berpikir sebelum menjawab. “Maksudmu?”

Ryan menghela napas, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran bangku. “Aku merasa ada jarak di antara kita. Aku tahu kita sibuk, aku tahu kamu lagi fokus sama banyak hal. Aku nggak pernah maksain kamu buat selalu ada buat aku, tapi… aku nggak bisa bohong kalau aku kangen.”

Hana terdiam. Kalimat Ryan barusan membuat dadanya sedikit sesak. Ia tidak bisa menyangkal bahwa ia juga merindukan momen-momen mereka dulu.

“Aku juga kangen, Ryan,” jawabnya akhirnya, suaranya sedikit pelan. “Tapi aku juga nggak mau kita saling membebani. Aku nggak mau kamu merasa harus selalu ada buat aku kalau itu justru bikin kamu capek.”

Ryan menoleh, menatap wajah Hana dengan serius. “Siapa bilang aku capek? Aku cuma takut… kamu berubah terlalu jauh sampai aku nggak bisa ngejar.”

Hana menatap mata Ryan, dan di sana, ia melihat ketulusan yang sama seperti dulu.

“Aku nggak berubah, Ryan,” gumam Hana. “Aku cuma… berusaha lebih baik.”

Ryan tersenyum kecil. “Dan aku bangga sama kamu. Tapi boleh kan, aku tetap jadi bagian dari perubahan kamu?”

Hana tersenyum, kali ini lebih tulus. “Tentu saja.”

Percakapan itu terasa seperti titik balik bagi mereka. Sejak saat itu, hubungan mereka kembali seperti dulu—lebih dekat, lebih hangat, tapi dengan cara yang lebih dewasa. Mereka tidak lagi terlalu heboh di depan banyak orang, lebih sering berbagi cerita dalam diam, lebih banyak memahami satu sama lain tanpa harus mengucapkan terlalu banyak kata.

Part Of ClassWhere stories live. Discover now