Part 15

173 151 18
                                        

••••••~~ HAPPY READING GUYS ~~••••••
                                ~✨~
                                ~✨~
                                ~✨~
                                ~✨~
                  

                         ••••••💫••••••

Pagi yang Berat untuk Hana

Pagi itu, Hana terbangun dengan tubuh yang terasa berat dan panas. Kepalanya berdenyut hebat, dan tenggorokannya kering. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur, tapi tubuhnya lemas luar biasa. Sejak kemarin, ia memang belum makan apa pun, hanya minum air beberapa kali.

Hana melirik jam dinding, sudah hampir jam sekolah. Biasanya, ia akan bersiap sekarang, tapi kali ini, berdiri saja rasanya mustahil. Ia mencoba mengambil ponselnya di meja samping tempat tidur dan mengetik pesan izin ke grup kelas, tapi tangannya terlalu gemetar. Akhirnya, ia menyerah dan membiarkan ponselnya tergeletak di kasur.

"Aku tidur sebentar lagi aja…" pikirnya, sebelum akhirnya kembali terbaring dengan tubuh menggigil.

Di tempat lain, Ryan sudah bersiap berangkat ke sekolah. Ia mengambil kunci mobilnya, tapi tiba-tiba, ada perasaan aneh yang muncul. Seperti ada sesuatu yang tidak beres.

Ia memikirkan kembali tentang Hana. Kemarin, setelah mereka pulang dari panti asuhan, Hana memang terlihat lebih tenang, tapi Ryan tidak bisa melupakan ekspresi lelah di wajahnya. Ditambah lagi, Hana memang sempat tidak makan apa pun saat mereka berhenti di mall.

"Apa mungkin dia sakit?"

Tanpa berpikir panjang, Ryan langsung berbalik, memasukkan kunci mobil, dan mengarahkan kendaraannya ke rumah Hana.

Sesampainya di depan rumah Hana, Ryan turun dan mengetuk pintu beberapa kali. Tidak ada jawaban. Ia mencoba menekan bel, tapi tetap tidak ada respons.

Khawatir, ia berjalan ke samping rumah, melihat ke arah jendela kamar Hana. Tirainya sedikit terbuka, dan dari luar, Ryan bisa melihat Hana yang masih terbaring di tempat tidur, wajahnya pucat.

"Hana!" panggilnya, mencoba melihat apakah Hana bereaksi. Tapi tidak ada jawaban.

Tanpa berpikir panjang, Ryan mencari cara untuk masuk. Beruntung, pintu depan tidak dikunci penuh—mungkin Hana tidak sempat sebelum tidur. Ia masuk dan langsung menuju kamar Hana.

Saat melihat Hana dari dekat, Ryan benar-benar terkejut. Tubuhnya panas, bibirnya kering, dan ia terlihat benar-benar lemas.

"Hana, kamu denger aku?" Ryan mencoba mengguncang bahunya pelan.

Hana mengerjapkan mata samar-samar, tapi tatapannya kosong dan tidak fokus.

"Aku…" suara Hana hampir tidak terdengar, sebelum akhirnya matanya kembali tertutup.

Tanpa pikir panjang, Ryan langsung bertindak. Ia memeriksa suhu tubuh Hana dengan menyentuh dahinya—panas sekali. Tanpa berpikir panjang, ia meraih selimut untuk menutupi tubuh Hana, lalu menggendongnya dalam pelukannya.

Hana terlalu lemah untuk melawan atau bahkan mengatakan sesuatu.

Ryan keluar dari rumah, membawa Hana ke mobilnya. Ia meletakkan Hana di kursi penumpang dengan hati-hati, lalu segera menyalakan mesin mobil dan melaju menuju rumah sakit terdekat.

Di perjalanan, Ryan beberapa kali melirik ke arah Hana, memastikan bahwa ia masih sadar.

"Bertahanlah, Hana…" gumamnya, mempercepat laju mobil.

Sementara itu, di sekolah, teman-teman Hana masih tidak tahu apa pun. Mereka mengira Hana hanya izin biasa. Tidak ada yang menyangka bahwa saat ini, Hana sedang dalam perjalanan ke rumah sakit tanpa sepengetahuan siapa pun bahkan mamanya sendiri.

Part Of ClassWhere stories live. Discover now