Sudah seminggu sejak Hana dan Ryan mulai go public soal hubungan mereka. Di sekolah, banyak yang senyum-senyum saat mereka lewat bareng, beberapa bahkan mulai ngejodoh-jodohin mereka terang-terangan. Awalnya menyenangkan, sampai akhirnya... mulai terasa berat.

“Han, kamu ikut makan bareng kita nggak?” tanya Ika saat istirahat.
Hana menoleh dari kursinya. Ryan baru saja keluar kelas.

“Maaf ya, aku udah janji sama Ryan mau ke kantin.”
Risa dan Anissa saling pandang sebentar. “Oh… yaudah, lain kali ya,” sahut Risa pelan.

Hana tersenyum, tapi ada rasa bersalah yang tiba-tiba tumbuh. Dan itu bukan sekali dua kali. Semakin hari, ia semakin jarang duduk bersama teman-teman lamanya. Percakapannya dengan mereka hanya sebatas sapaan atau update singkat. Selebihnya, waktunya banyak habis untuk Ryan... atau pikirannya sendiri.

Sampai suatu sore, di rumah, Hana duduk sendirian di depan meja belajarnya. Di tangan, ada kertas undangan acara lomba antar-kelas yang akan diadakan minggu depan. Ika, Risa, dan Anissa semua terlibat dalam panitia.

Dan untuk pertama kalinya... Hana tidak diajak.

Hari itu, Hana duduk sendirian di bangku paling pojok kantin, bukan karena nggak ada yang ngajak bareng, tapi karena dia sendiri yang memilih menjauh.

Risa, Ika, dan Anissa lagi asik ngobrol bareng anak-anak lain di sudut kantin. Ryan, yang biasanya selalu ada, kali ini malah sibuk di UKS bantuin guru piket. Rafen? Entah kemana. Sejak kejadian di taman tempo hari, Hana merasa semua orang seolah berjalan lebih cepat darinya.

Hana mengaduk minumannya pelan, sambil memperhatikan notifikasi yang masuk ke HP-nya. Grup kecil mereka udah lama nggak seramai dulu. Obrolan tentang hal-hal sepele digantikan dengan cerita soal lomba, pasangan, bahkan… rumor yang nggak jelas arahnya.

Hana menghela napas pelan.
“Apa aku yang berubah? Atau semuanya yang berubah tanpa aku sadari?”

Tiba-tiba, suara yang familiar duduk di seberangnya. Rafa.

"Sendiri aja?" tanyanya sambil menyodorkan roti sobek isi coklat.
Hana tersenyum kecil. "Lagi pengen sendiri. Tapi makasih rotinya."

Rafa memperhatikan Hana dengan tatapan serius. "Aku nggak suka liat kamu gini, Han. Kamu kelihatan... capek. Tapi bukan capek biasa."

Hana menunduk. "Aku bingung, Raf. Kayak... semua jalan, dan aku ditinggalin. Aku sama Ryan baik, tapi temen-temenku makin jauh. Terus kamu dateng, terus semua orang mulai ngelihat aku aneh..."

Rafa diam sebentar, lalu berkata, "Kadang... kita nggak ditinggalin, kita cuma lagi jalan di jalur yang beda untuk sementara. Tapi orang yang tulus, bakal muter balik nyusul kita. Atau nungguin di ujung."

Hana mengangguk pelan. Kata-kata itu entah kenapa masuk.

Malam itu, Hana duduk di dekat jendela kamarnya. Lampu kamar sengaja dibiarkan redup, hanya sinar dari luar yang masuk membentuk siluet di dinding. Ponselnya sepi. Grup kecilnya yang dulu ramai membahas hal-hal receh sekarang terasa seperti grup alumni yang cuma aktif pas perlu.

Ia membuka chat dari Ryan. Ada satu pesan terakhir yang belum sempat dibalas sejak sore:

“Besok aku jemput, ya? Aku pengen kita ngobrol serius.”

Hana hanya menatap layar tanpa membalas. Bukan karena tak peduli, tapi hatinya sedang penuh. Penuh tanya, penuh sesak, penuh kebingungan yang tak bisa langsung didefinisikan. Tentang pertemanan. Tentang rasa. Tentang kehadiran yang datang dan pergi begitu saja.

Ia lalu menatap pesan dari Rafa. Sebuah foto masa kecil yang dikirim beberapa jam lalu, saat mereka masih balita, berlarian di depan rumah nenek mereka.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 08 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Part Of ClassWhere stories live. Discover now