Hana hanya tersenyum kecil. Ia memang kangen dengan momen seperti ini. Tanpa harus mikirin Ryan, Rafa, atau siapa pun. Hanya dia dan teman-teman perempuannya, berbicara bebas tanpa tekanan.
Saat di taman belakang, mereka duduk di bangku panjang yang biasa jadi tempat mereka ngobrol saat awal masuk sekolah. Ika membuka obrolan sambil menatap Hana, "Kamu masih sering lari pagi?"
"Iya," jawab Hana sambil menggigit rotinya. "Biar tenang aja pikirannya."
Risa mengangguk, lalu menggoda, "Tenang dari siapa nih? Ryan? Rafa? Atau Selina?"
Hana langsung melempar tisu kosong ke arah Risa sambil tertawa. "Semuanya, lah."
Anissa ikut menyambung, "Tapi serius, ya. Kayaknya kamu makin beda sekarang. Lebih tenang, lebih dewasa."
"Iya, aku juga ngerasa gitu," aku Hana pelan. "Dulu kayak gampang panik, gampang bingung. Sekarang... aku masih bingung sih, tapi setidaknya nggak sesering itu."
Ika menatap Hana lama-lama. "Apa kamu beneran bahagia sekarang?"
Pertanyaan itu membuat Hana terdiam sesaat. Ia menatap daun-daun yang bergoyang di atas kepala mereka, lalu mengangguk.
"Aku lagi belajar bahagia. Dan aku rasa... itu udah cukup untuk sekarang."
Mereka bertiga terdiam, tapi bukan dalam kekosongan. Justru, hening itu terasa damai.
Tawa mereka masih berderai saat angin sore berembus lembut, menerbangkan sisa daun kering di sekitar bangku taman. Sesekali, suara anak-anak dari lapangan belakang terdengar samar, menambah nuansa hidup di sela keheningan sekolah yang mulai sepi.
“Aku kangen masa-masa awal sekolah,” kata Risa sambil mengunyah pelan. “Waktu semuanya belum rumit, belum ada drama, belum ada... cowok.”
Anissa tertawa. “Tapi tanpa mereka, cerita hidup kita hambar banget, Ris.”
“Aku setuju,” sahut Ika cepat. “Tapi kadang, terlalu banyak bumbu juga bikin perut mules.”
Hana tersenyum mendengar celetukan itu. Dia memeluk lututnya sendiri sambil berkata pelan, “Aku nggak nyesel ketemu mereka. Ryan, Rafa… semuanya. Tapi kadang aku juga kangen sama versi diriku yang dulu.”
Mereka semua terdiam sebentar. Lalu Anissa menepuk punggung Hana pelan. “Kita semua berubah, Han. Tapi kamu tetap Hana yang kita kenal dari awal. Kalau kamu ngerasa kehilangan dirimu, kita di sini buat bantu kamu nemuin lagi.”
Suasana berubah lebih hangat. Tapi saat itu pula, dari kejauhan, sosok Ryan terlihat berjalan pelan menuju arah mereka. Ia tidak tergesa, tapi tatapannya jelas tertuju pada Hana.
Hana berdiri, agak bingung, lalu melangkah beberapa langkah menjauh dari teman-temannya.
“Boleh ngobrol sebentar?” tanya Ryan pelan saat sudah cukup dekat.
Hana menoleh ke arah teman-temannya yang langsung paham dan pura-pura sibuk sendiri. Ia lalu mengangguk dan berjalan bersama Ryan ke bawah pohon besar tak jauh dari situ.
“Aku nggak ganggu, kan?” tanya Ryan sambil memasukkan tangan ke saku celananya.
“Enggak, kok. Cuma lagi santai aja bareng Ika, Risa, sama Anissa,” jawab Hana.
Ryan menatap Hana sebentar, lalu berkata, “Aku senang lihat kamu bisa ketawa kayak tadi. Tapi entah kenapa, aku juga jadi takut kehilangan.”
Hana menatapnya dalam diam. Hatinya terasa hangat... dan sedikit bingung.
“Aku nggak akan pergi ke mana-mana, Ryan,” bisiknya pelan.
Ryan tersenyum, lega. Ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Hana erat. “Kalau begitu, jangan terlalu jauh, ya?”
YOU ARE READING
Part Of Class
Teen FictionSilahkan follow sebelum membaca yaa Kehidupan di masa putih abu-abu adalah masa dimana hal baru dimulai, perjalanan yang tak terduga membuat kita tak sadar bahwa selama ini hanya tersisa 1 tahun untuk melanjutkan ke tingkat kelas terakhir. Kelas s...
Part 43
Start from the beginning
