Ryan mengangguk pelan, tapi Hana bisa melihat matanya sedikit meredup.
Hana menggigit bibirnya. "Ryan... kamu percaya sama aku, kan?"
Ryan tersenyum tipis. "Aku percaya. Aku cuma... nggak suka lihat orang lain ada di posisi yang dulu cuma buat aku."
Hana tersenyum kecil dan menggenggam tangan Ryan. "Kamu tetap yang terpenting buatku."
Ryan tidak langsung menjawab, tapi genggamannya menguat.
Mereka tahu, ini bukan akhir dari segalanya. Ada sesuatu yang mulai berubah di sekitar mereka, sesuatu yang perlahan-lahan akan menguji hubungan mereka lebih dari sebelumnya.
Hari-hari setelah makan malam bersama keluarga Rafa, Hana mulai merasa ada yang berubah dalam hubungannya dengan Ryan. Meskipun Ryan tidak lagi terang-terangan menunjukkan kecemburuannya, sikapnya terasa lebih kaku. Ia tetap bersikap manis, tapi ada sesuatu yang berbeda—seperti ada jarak yang perlahan terbentuk di antara mereka.
Di sisi lain, Rafa semakin sering muncul dalam kehidupan Hana. Entah itu sekadar menyapa di sekolah, mengirim pesan menanyakan kabarnya, atau tanpa sengaja bertemu saat olahraga sore. Rafa tidak pernah berusaha merebut perhatian Hana secara langsung, tapi kehadirannya terasa lebih tulus dan menenangkan.
Suatu sore, saat Hana sedang duduk di taman dekat rumahnya setelah jogging, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Ryan.
Ryan: "Sayang, kamu di mana?"
Hana tersenyum tipis sebelum membalas.
Hana: "Di taman dekat rumah. Habis jogging."
Tidak lama kemudian, teleponnya berdering. Hana mengangkatnya, dan suara Ryan terdengar di seberang.
"Kamu sendirian?" tanyanya langsung.
"Iya, sendirian kok."
Ryan menghela napas. "Aku boleh ke sana?"
Hana ragu sejenak, tapi akhirnya mengiyakan. Lima belas menit kemudian, Ryan sudah berdiri di hadapannya.
"Kamu nggak capek? Kayaknya sekarang lebih sering lari sore," kata Ryan sambil duduk di sampingnya.
"Nggak juga. Aku cuma lagi pengen lebih aktif aja," jawab Hana santai.
Ryan menatapnya, lalu berkata dengan nada sedikit lebih serius. "Atau... kamu lagi pengen menghindar dari aku?"
Hana terdiam. Pertanyaan itu datang lebih cepat dari yang ia duga.
"Ryan, aku nggak menghindar. Aku cuma lagi menikmati waktuku sendiri," ucapnya pelan.
Ryan menunduk, menggenggam tangannya. "Aku cuma takut kita jadi jauh. Aku nggak mau kehilangan kamu, Hana."
Hana tersenyum tipis, tapi tidak segera menjawab. Dalam hatinya, ia tahu bahwa hubungan mereka sedang diuji.
Di saat yang sama, dari kejauhan, Rafa yang kebetulan melintas di area taman melihat keduanya. Ia tidak berniat mendekat, tapi dari ekspresi wajahnya, terlihat jelas bahwa ia menyadari sesuatu mungkin sesuatu yang bahkan Hana sendiri belum sadari.
Beberapa minggu terakhir, Hana merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hidupnya. Bukan karena perubahan besar, tapi lebih pada hal-hal kecil yang mulai terasa mengganggu.
Ryan semakin sering menanyakan keberadaannya, siapa yang ia temui, dan bahkan mengomentari kebiasaannya yang baru—seperti lari pagi atau sekadar berbicara dengan Rafa.
Awalnya, Hana menganggap itu wajar. Tapi semakin lama, ia merasa terkekang.
Suatu siang, di koridor sekolah, Hana sedang bercanda dengan Rafa tentang masa kecil mereka yang hampir terlupakan. Suasana santai itu tiba-tiba buyar ketika suara Ryan terdengar dari belakang.
YOU ARE READING
Part Of Class
Teen FictionSilahkan follow sebelum membaca yaa Kehidupan di masa putih abu-abu adalah masa dimana hal baru dimulai, perjalanan yang tak terduga membuat kita tak sadar bahwa selama ini hanya tersisa 1 tahun untuk melanjutkan ke tingkat kelas terakhir. Kelas s...
Part 42
Start from the beginning
