Sang ibu langsung tersenyum lebih lebar. "Ya ampun! Sudah besar sekali sekarang. Terakhir kali Tante lihat, kamu masih anak kecil yang suka main rumah-rumahan di halaman rumah!"

Ayah Rafa ikut tersenyum kecil, lalu mengulurkan tangan. "Lama tidak bertemu, Hana."

Hana tersadar dari keterkejutannya dan segera menjabat tangan beliau dengan sopan. "Iya, Om... Aku juga hampir nggak mengenali Om dan Tante."

Ibu Rafa tertawa kecil. "Wajar, kita juga sudah lama sekali nggak bertemu. Sejak keluarga kamu pindah, ya?"

Hana mengangguk pelan. "Iya, Tante. Waktu itu aku masih kecil, jadi nggak terlalu ingat semuanya..."

Saat ia menarik kembali tangannya, ia melirik Rafa yang masih menatapnya tanpa ekspresi. Ada sesuatu dalam matanya yang sulit ditebak—seperti campuran antara nostalgia dan keterkejutan yang belum sepenuhnya hilang.

"Kalian berdua dulu sahabatan banget, ya..." komentar ayah Rafa sambil menepuk bahu putranya. "Rafa bahkan dulu sering nangis kalau nggak bisa main sama Hana, hahaha!"

Rafa langsung berdeham, jelas merasa malu. "Yah, Ayah..." gumamnya dengan nada protes.
Hana tak bisa menahan senyum mendengar itu. "Oh? Jadi Rafa dulu sering nangis karena aku?" godanya pelan.

Rafa meliriknya tajam, tapi tidak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya. "Itu waktu kecil. Jangan diungkit."

Ayah dan ibu Rafa tertawa kecil melihat interaksi mereka, sementara Hana hanya tersenyum. Meskipun awalnya pertemuan ini terasa canggung, perlahan-lahan suasana mulai terasa lebih hangat.

Tapi satu hal yang pasti, pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang bisa mengubah cara Hana melihat masa lalunya... dan mungkin, masa depannya.

Setelah pertemuan itu, Hana merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Entah kenapa, bayangan Rafa kecil yang dulu sering bermain dengannya mulai muncul kembali di pikirannya.

Saat perjalanan pulang dari taman, Hana tidak bisa berhenti memikirkan Rafa dan keluarganya. Ia mengeluarkan ponselnya dan tanpa sadar mengetik nama "Rafa" di aplikasi pencari teman. Namun, sebelum ia sempat menekan tombol cari, ia menghela napas dan menutup layar ponselnya.

"Kenapa aku jadi kepikiran?" batinnya.

Sesampainya di rumah, Hana langsung masuk ke kamarnya dan merebahkan diri di kasur. Ia menatap langit-langit, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Ryan muncul di layar.
Ryan: "Lagi ngapain?"

Hana tersenyum tipis lalu membalas, "Baru pulang. Kamu?"
Ryan: "Di rumah aja. Besok ada waktu buat jalan?"

Hana menatap layar ponselnya cukup lama sebelum membalas, "Kayaknya bisa. Mau ke mana?"
Ryan: "Nanti aku pikirin. Yang penting kita jalan berdua."

Hana menghela napas kecil, merasa hangat dengan perhatian Ryan. Namun, di balik rasa itu, pikirannya masih melayang ke pertemuan tadi dengan Rafa.

Di tempat lain, Rafa juga termenung di kamarnya. Ia menatap foto-foto lama di dalam album keluarga, mencari satu foto yang mungkin masih menyimpan jejak masa kecilnya dengan Hana. Dan benar saja, di salah satu foto, ada dirinya yang masih kecil, duduk di ayunan bersama seorang gadis kecil yang tertawa lepas Hana.

Ia menatap foto itu cukup lama, lalu tersenyum kecil.

"Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi, Hana."

Sementara itu, tanpa disadari Hana dan Rafa, pertemuan mereka hari ini mungkin akan membawa lebih banyak perubahan dalam hidup mereka. Sesuatu yang belum mereka sadari... atau mungkin belum siap mereka hadapi.

Part Of ClassWhere stories live. Discover now