Jadi, alih-alih memikirkan hal yang tidak perlu, Rafa lebih memilih menikmati hidupnya. Baginya, selama ia bisa terus melakukan hal yang ia sukai dan dikelilingi orang-orang yang membuatnya nyaman, itu sudah cukup.
Di sisi lain, Hana juga menyadari bahwa Rafa tidak banyak berkomentar mengenai hubungannya dengan Ryan. Saat mereka bertemu di lorong sekolah pun, Rafa hanya tersenyum santai seperti biasa, tanpa ada kecanggungan sedikit pun.
Mungkin, ini memang yang terbaik. Rafa tetap menjadi dirinya sendiri, dan Hana pun bisa menjalani hubungannya dengan Ryan tanpa harus terbebani oleh masa lalu atau ekspektasi orang lain.
Sore itu, Hana memutuskan untuk lari sore di taman dekat rumahnya. Sudah beberapa minggu ini ia membiasakan diri berolahraga secara rutin, dan rasanya tubuhnya mulai lebih segar. Ia mengenakan pakaian olahraga santai, earphone terpasang di telinganya, dan playlist favoritnya mengalun lembut, menemani langkah kakinya yang bergerak ritmis di atas jogging track.
Saat melewati area bangku taman, matanya sekilas menangkap sosok yang duduk di sana seorang pria paruh baya bersama seorang wanita. Keduanya tampak mengobrol santai, menikmati suasana sore.
Awalnya, Hana tidak begitu memperhatikan mereka. Namun, saat ia kembali melewati jalur yang sama, langkahnya terhenti sejenak. Ada sesuatu dalam wajah pria itu yang terasa familiar...
Perlahan, ia menurunkan earphone-nya, mencoba mengingat-ingat. Wajah pria itu terlihat agak menua dibanding bayangan samar di ingatannya, tetapi tatapan matanya masih sama. Begitu pula dengan senyum lembut yang tampak saat berbicara dengan wanita di sampingnya.
Hana mengernyit. "Tidak mungkin... kan?" gumamnya dalam hati.
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, seseorang datang menghampiri bangku taman itu. Seorang pria muda dengan postur tinggi dan ekspresi santai—Rafa.
Jantung Hana berdegup lebih cepat. Ia melihat bagaimana Rafa mendekati pria dan wanita itu dengan begitu akrab. Lalu, tiba-tiba, memori lama kembali muncul dalam pikirannya.
Rafa... Ayah... Ibu...?
Tiba-tiba, ingatan masa kecilnya menyeruak. Seorang anak laki-laki kecil yang selalu bermain dengannya di halaman rumah. Sosok yang sering berbagi camilan saat masih duduk di taman kanak-kanak. Seseorang yang... pernah begitu dekat dengannya sebelas tahun lalu.
"Ra...fa?" suara Hana nyaris berbisik.
Seakan mendengar namanya disebut, Rafa menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu. Ekspresi Rafa awalnya datar, tetapi kemudian matanya sedikit membesar seolah menyadari sesuatu.
"Hana?"
Hana menelan ludah, merasa dadanya sedikit sesak. Tidak ada yang menyangka pertemuan tak terduga ini akan terjadi. Setelah sebelas tahun berpisah, mereka akhirnya bertemu kembali di tempat yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
Hana masih berdiri terpaku di tempatnya, berusaha mencerna situasi yang terjadi di depannya. Rafa kini menatapnya dengan pandangan penuh keterkejutan, seolah tidak percaya bahwa gadis kecil yang dulu menjadi teman bermainnya kini berdiri di hadapannya.
"Hana..." Rafa mengulang namanya sekali lagi, kali ini dengan suara yang lebih pelan.
Ayah dan ibu Rafa, yang semula sibuk berbincang, ikut menoleh ke arah Hana. Sang ibu mengamati Hana dengan tatapan penuh selidik, lalu matanya perlahan melembut.
"Kamu... Hana putrinya Bu Maya, kan?" tanyanya dengan senyum hangat.
Hana menelan ludah, hatinya semakin berdebar. "Iya, Tante..." jawabnya pelan, masih merasa sedikit canggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Part Of Class
Teen FictionSilahkan follow sebelum membaca yaa Kehidupan di masa putih abu-abu adalah masa dimana hal baru dimulai, perjalanan yang tak terduga membuat kita tak sadar bahwa selama ini hanya tersisa 1 tahun untuk melanjutkan ke tingkat kelas terakhir. Kelas s...
Part 41
Mulai dari awal
