Setelah beberapa waktu, suasana kelas kembali sedikit lebih tenang. Namun, Hana bisa merasakan adanya perubahan kecil di sekitar dirinya. Teman-temannya sepertinya sudah mulai berspekulasi lebih banyak tentang hubungan Hana dan Ryan, meskipun tidak ada yang secara langsung bertanya atau mengonfirmasi apa yang sebenarnya terjadi. Hana merasa dirinya semakin canggung.
Namun, saat jam istirahat tiba, Hana dan Ryan memutuskan untuk keluar bersama. Mereka berjalan di halaman sekolah, dengan beberapa siswa lain yang tampaknya memperhatikan mereka berdua. Hana sedikit merasa gugup, tetapi Ryan hanya tersenyum dan mengajaknya berbicara ringan.
"Tahu nggak, Hana, kadang kita harus membiarkan orang lain berpikir apa yang mereka mau tentang kita. Yang penting kita tahu apa yang kita rasakan," kata Ryan dengan senyum yang menenangkan.
Hana terdiam sejenak, merenung. "Tapi mereka... mereka akan terus ngomongin kita, kan?"
"Biarkan aja. Kita kan nggak bisa kontrol apa yang orang lain pikirkan. Yang penting kita tahu satu sama lain," jawab Ryan.
Hana mengangguk pelan, masih sedikit ragu. Tetapi dia bisa merasakan bahwa meskipun situasi ini agak rumit, ada kenyamanan yang mulai terbentuk di antara mereka berdua.
Pada saat mereka kembali ke kelas, teman-teman mulai menyadari bahwa ada yang berbeda. Mereka melihat Ryan dan Hana duduk bersama dengan lebih dekat, saling berbicara dengan lebih santai. Beberapa dari mereka tersenyum atau saling berbisik, tapi tidak ada yang benar-benar menanyakan secara langsung.
Saat pelajaran dimulai, Hana merasa lebih tenang. Meskipun bisikan kecil masih terdengar, dia mulai bisa menerima kenyataan bahwa hubungan mereka tidak bisa disembunyikan lagi. Namun, dia merasa sedikit lega karena Ryan ada di sampingnya, membuatnya merasa sedikit lebih kuat.
Setelah kejadian itu, hari-hari Hana di sekolah mulai terasa berbeda. Meskipun hubungan mereka belum diumumkan secara resmi, teman-teman mulai memperhatikan dan bisik-bisik di belakang. Hana merasa canggung, tapi Ryan selalu ada untuk menenangkan hatinya.
Suatu siang, setelah pelajaran selesai, Hana duduk di bangkunya, merenung tentang semua yang terjadi. Tiba-tiba, Ryan mendekat dan duduk di sampingnya, tanpa berkata apa-apa. Hana hanya menatapnya, merasa sedikit bingung dengan perasaan yang terus berkembang.
"Ryan, apa yang kita lakukan ini... apa kita siap?" Hana akhirnya bertanya, suaranya hampir berbisik.
Ryan tersenyum, meskipun matanya terlihat serius. "Kita nggak bisa tahu sampai kita coba, Hana. Aku nggak akan maksa kamu kalau kamu nggak siap. Tapi, aku ingin kita jalanin ini, bareng-bareng."
Hana menghela napas, merasa sedikit lega. Meskipun banyak hal yang belum jelas, satu hal yang pasti adalah bahwa Ryan ada untuknya. Itu sudah cukup.
"Baiklah," jawab Hana, "Aku akan coba, tapi kita ambil langkah pelan-pelan aja ya."
Ryan mengangguk, tampak puas dengan jawaban Hana. Mereka berdua tersenyum, saling mendukung tanpa kata-kata berlebihan. Tak lama setelah itu, mereka kembali ke kelas, dengan perasaan yang sedikit lebih ringan.
Namun, sebelum mereka masuk, Gavin dan beberapa teman sekelas mereka mendekat, menatap mereka dengan ekspresi penasaran.
"Eh, kalian berdua... nggak sengaja deket ya? Ada apa nih?" tanya Gavin, sambil tersenyum nakal.
Ryan hanya tertawa kecil. "Nggak ada apa-apa, cuma ngobrol."
Hana sedikit tersipu, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. "Iya, cuma ngobrol aja."
Teman-teman di sekitar mereka hanya tertawa, tapi Hana tahu bahwa percakapan itu akan tetap menjadi topik yang dibicarakan banyak orang. Tidak lama setelah itu, bel tanda pergantian jam berbunyi, dan mereka semua kembali ke kelas masing-masing.
Hari itu, meskipun banyak hal yang masih mengambang, Hana merasa sedikit lebih nyaman dengan apa yang terjadi. Setiap langkah, meskipun pelan, membuatnya merasa semakin dekat dengan Ryan. Dan mungkin, itu adalah awal dari perjalanan yang lebih besar untuk mereka berdua.
Setelah teman-temannya selesai bertanya-tanya, Hana akhirnya bisa duduk dengan tenang di kursinya. Namun, pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai hal—tentang Ryan, tentang bagaimana teman-temannya mulai curiga, dan tentang perasaannya sendiri yang semakin sulit dipahami.
Beberapa menit kemudian, tepat sebelum pelajaran dimulai, Ryan tiba-tiba muncul di depan kelas Hana. Sontak, beberapa teman sekelasnya langsung berbisik-bisik, menatap ke arah mereka dengan penuh rasa ingin tahu.
“Hana,” panggil Ryan dengan santai, “sebentar, ikut aku.”
Hana mengerutkan kening. “Sekarang? Pelajaran mau mulai.”
Ryan tersenyum kecil. “Cuma sebentar, aku janji.”
Tanpa banyak pilihan, Hana akhirnya berdiri dan mengikuti Ryan ke luar kelas. Pandangan teman-temannya mengikuti langkah mereka sampai menghilang di balik pintu.
Di luar kelas, Ryan bersandar di dinding koridor dan menatap Hana dengan serius.
“Kamu udah baca pesanku?” tanyanya.
Hana mengangguk pelan. “Udah… tapi aku bingung harus jawab apa.”
Ryan menatapnya sejenak, lalu menarik napas dalam. “Aku tahu ini mungkin terlalu cepat buat kamu, dan aku nggak mau kamu merasa terpaksa. Tapi aku cuma ingin kamu tahu kalau aku serius.”
Hana menggigit bibirnya, merasa sedikit canggung. “Aku… nggak marah, Ryan. Aku cuma butuh waktu buat berpikir.”
Ryan tersenyum tipis, seolah memahami perasaan Hana. “Oke, aku bakal kasih kamu waktu. Tapi… boleh nggak aku tetap ada di dekat kamu kayak biasanya?”
Hana menatap Ryan, lalu menghela napas sebelum akhirnya mengangguk. “Iya… boleh.”
Senyum Ryan melebar. “Oke, sekarang kita balik ke kelas sebelum mereka makin curiga.”
Saat mereka kembali, kelas Hana kembali riuh. Beberapa teman langsung menggoda mereka, sementara yang lain hanya tertawa kecil. Hana hanya bisa menunduk, sementara Ryan tetap tenang seperti biasa.
Hana tahu, mulai hari ini, semuanya akan terasa sedikit berbeda. Tapi satu hal yang pasti ia tidak sendirian dalam menghadapi semua ini.
Hana menatap Ryan dengan perasaan yang masih campur aduk. Meski ragu, ada sesuatu dalam tatapan Ryan yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Tanpa banyak kata, ia mengikuti langkah Ryan menjauh dari kelas, meninggalkan suara heboh teman-temannya di belakang.
Hari ini mungkin belum ada jawaban pasti, tapi Hana tahu, ia tidak bisa terus menghindar dari perasaannya sendiri.
🌷🌷🌷
"Kadang, bukan tentang seberapa siap kita untuk menjawab perasaan seseorang, tapi tentang seberapa berani kita menghadapi apa yang sebenarnya sudah ada di hati." ~seccd
✨✨✨
Hii guyss hehe gimana ceritanya?? Seruu gaa?? Yaa aku mulai nulis lagii and klo ada kesalahan kalimat silahkan di komentar 😽 bantu support aku lagii yaahhh thankyou guyss.... JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, AND SUPPORT YAAA
Tunggu kelanjutannya yahh
ESTÁS LEYENDO
Part Of Class
Novela JuvenilSilahkan follow sebelum membaca yaa Kehidupan di masa putih abu-abu adalah masa dimana hal baru dimulai, perjalanan yang tak terduga membuat kita tak sadar bahwa selama ini hanya tersisa 1 tahun untuk melanjutkan ke tingkat kelas terakhir. Kelas s...
Part 34
Comenzar desde el principio
