“Hei, tunggu.”

Hana menoleh dengan cemas. "Ada apa lagi, Ryan?"

Ryan hanya meliriknya dengan ekspresi santai. "Kamu beneran cabut dari kelas? Apa yang kamu takutkan?"

Hana menunduk, berusaha menghindari mata Ryan yang intens. “Kamu nggak ngerti, deh. Semua orang tahu sekarang.”

Ryan mengangkat bahu, tampak tidak terlalu khawatir dengan situasi itu. “Ya udah, biarin aja. Gue nggak peduli.”

Namun, Hana merasakan ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ryan memang sering santai, tapi kali ini ada sisi lain yang muncul, seperti dia ingin lebih serius menghadapinya. Hana jadi semakin bingung, apakah semuanya ini benar-benar hanya permainan baginya?

“Kenapa kamu selalu kayak gini, Ryan?” Hana tiba-tiba bertanya, suara cemas bercampur bingung. "Kenapa kamu nggak pernah bilang apa-apa tentang kita?"

Ryan berhenti sejenak, kemudian berbalik menatap Hana dengan tatapan yang lebih serius. “Karena Aku nggak perlu banyak bicara. Gue cuma ingin kamu tahu kalau gue peduli sama kamu. Dan itu lebih penting daripada kata-kata.”

Hana merasa hatinya berdegup kencang. Kata-kata Ryan ini berbeda dari biasanya, lebih dalam, lebih tulus. Tapi di saat yang sama, ia juga merasa khawatir.

"Tapi kita nggak bisa kayak gini terus, Ryan. Kita nggak bisa sembunyiin semuanya dari teman-teman kita. Mereka pasti bakal nanya banyak hal."

Ryan hanya mengangguk pelan, lalu tanpa aba-aba, dia mendekatkan wajahnya ke Hana, seolah ingin menenangkan kekhawatirannya. “Aku tahu, tapi kalau kamu mau, kita bisa atur waktu buat ngobrol lebih lanjut. Ga perlu buru-buru."

Tanpa sadar, Hana merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ada rasa yang tumbuh, rasa yang lebih dari sekadar teman, tapi belum bisa ia ungkapkan secara penuh.

“Oke, kita bicarakan nanti, tapi—" Hana menarik napas dalam-dalam, masih ragu dengan keputusan yang harus diambilnya. "Tapi kita jangan sampai jadi bahan gosip lagi, Ryan."

Ryan tersenyum tipis, seakan mengerti ketakutan Hana. “Aku janji. Ini cuma antara kita.”

Tapi Hana bisa merasakan bahwa janjinya Ryan ini mungkin tidak akan mudah dijaga, terutama dengan cara mereka yang terlalu santai dan sering membuat orang lain penasaran.

Setelah momen yang penuh ketegangan itu, mereka berdua akhirnya keluar dari sekolah, tetapi sesuatu dalam hubungan mereka kini terasa berbeda. Ada semacam ketegangan yang belum terpecahkan, dan Hana tahu bahwa perasaan ini, perasaan yang ia simpan, tidak bisa ia tahan terlalu lama lagi.

Setelah keluar dari sekolah, Hana dan Ryan berjalan bersama ke arah taman dekat sekolah, mencoba menghindari kerumunan teman-teman yang masih sibuk membicarakan kejadian di kelas. Hana merasakan udara sore yang cukup sejuk, tetapi hatinya tetap berdebar kencang. Ia merasa tidak nyaman dengan apa yang baru saja terjadi—semuanya begitu mendalam, dan terlalu cepat.

Ryan berjalan dengan santai, seakan tidak ada beban. Namun, Hana merasa ketegangan yang cukup besar dalam dirinya. Ia tahu, di satu sisi, hubungan mereka seperti terasa lebih nyata, tetapi di sisi lain, ada rasa takut yang terus menghantui Hana.

"Ryan..." Hana membuka suara, mengalihkan pikirannya dari kecemasan yang terus-menerus berputar. "Aku nggak ngerti... kenapa semuanya jadi rumit kayak gini."

Ryan berhenti sebentar dan menatapnya. "Kamu takut kalau hubungan ini terbongkar?" tanyanya dengan tenang, menilai ekspresi wajah Hana.

Hana menggigit bibir bawahnya, merasa bingung. “Iya, aku takut kalau orang-orang tahu. Mereka nggak akan berhenti tanya-tanya. Mereka bakal ngebahas ini terus."

Part Of ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang