Salah satu dari mereka bertanya, “Eh, nyari siapa?”

Tanpa ragu, Hana menjawab, “Ryan. Aku perlu dia.”

Jawaban itu membuat beberapa anak saling pandang. Ada yang terlihat penasaran, ada juga yang sepertinya mulai menggoda dalam hati.

“Tuh, Ryan di belakang,” kata salah satu anak sambil menunjuk ke bagian belakang kelas.

Hana langsung melangkah ke sana tanpa memedulikan tatapan orang-orang.

Saat ia sampai di tempat Ryan duduk, ia melihat cowok itu sedang bermain game di ponselnya, seolah-olah tidak peduli dengan dunia sekitarnya.

“Ryan,” panggil Hana, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya.

Ryan menoleh, jelas terkejut melihat Hana di sini. “Hana?”

Tanpa menunggu lebih lama, Hana langsung duduk di bangku kosong di sebelah Ryan, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Aku mau ngobrol,” kata Hana pelan.

Ryan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengunci ponselnya dan memasukkannya ke saku. “Oke. Tentang apa?”

Hana menggigit bibirnya. Ia ingin bilang semuanya, tapi mulutnya terasa berat.

Ryan menunggu, matanya tetap tertuju pada Hana.

Akhirnya, dengan suara yang sedikit gemetar, Hana berkata, “Aku nggak mau kamu menjauh.”

Ryan terdiam.

“Kalau aku ada salah, bilang,” lanjut Hana, suaranya lebih pelan sekarang. “Jangan diam aja kayak gini.”

Ryan masih tidak menjawab. Tapi tatapannya menjadi lebih lembut, seolah sedang mempertimbangkan kata-katanya.

Hana merasa dadanya semakin sesak. “Aku nggak mau kita jadi aneh.”

Ryan menghela napas pelan. “Aku juga nggak mau, Hana.”

“Tapi?”

Ryan tersenyum kecil, tapi senyum itu terasa sedikit pahit. “Tapi kadang aku nggak tahu aku ini siapa buat kamu.”

Kata-kata itu membuat Hana terdiam. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya terasa kelu.

Ryan menatapnya sebentar sebelum akhirnya berkata, “Hana, kalau kamu cuma takut aku kecewa… itu bukan alasan yang bagus buat bertahan.”

Hana membelalakkan mata, hatinya terasa seperti ditusuk.

“Jadi…” suara Hana hampir bergetar. “Kamu mau menyerah?”

Ryan menggeleng pelan. “Aku cuma nggak mau jadi orang yang kamu pertahankan karena kasihan.”

Hana terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

Suasana di antara mereka menjadi begitu sunyi, seolah seluruh dunia menghilang.

Lalu, Hana akhirnya menarik napas dalam dan berkata, “Aku nggak pernah kasihan sama kamu, Ryan. Aku cuma… aku cuma nggak mau kehilangan kamu.”

Ryan menatapnya dalam-dalam. Kali ini, ekspresinya sedikit lebih lembut.

“…Itu aja udah cukup buat aku,” gumam Ryan pelan.
Hana tidak tahu apa maksudnya, tapi untuk saat ini, ia merasa sedikit lega.

Mungkin semuanya belum benar-benar selesai. Tapi setidaknya, ia sudah melakukan sesuatu.
Dan Ryan masih di sini.

Setelah percakapan tadi, suasana antara Hana dan Ryan masih terasa sedikit canggung. Tapi Ryan, seperti biasa, tetap terlihat tenang.

“Tunggu di sini sebentar,” kata Ryan tiba-tiba, lalu berdiri.

“Hah? Mau ke mana?” tanya Hana bingung.

Ryan tidak menjawab. Ia hanya berjalan ke arah pojok kelas, dekat dinding belakang yang sedikit lebih sepi. Lalu, ia menoleh ke arah Hana dan memberi isyarat dengan dagunya. “Sini.”

Hana ragu sejenak, tapi akhirnya bangkit dan mengikuti Ryan ke tempat yang dimaksud. Beberapa teman sekelas Ryan mulai melirik mereka dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.

Di pojok kelas, Ryan duduk bersandar di dinding, sementara Hana tetap berdiri di depannya.

“Kita ngapain di sini?” Hana bertanya pelan.

Ryan menepuk lantai di sampingnya. “Duduklah.”

Setelah sedikit ragu, Hana akhirnya ikut duduk, berusaha menjaga jarak agar tidak terlalu dekat. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi Ryan tiba-tiba merebahkan kepalanya di paha Hana.

Hana langsung membeku.

Jantungnya berdetak kencang, wajahnya terasa panas seketika.

Apa yang dia lakukan?!

Seluruh kelas yang awalnya hanya sekadar melirik, kini benar-benar heboh.

“Woi, woi, woi! Apa-apaan ini?!”
“Ryan rebahan di paha Hana? Gila sih, ini!”

Hana langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia bisa merasakan tatapan seluruh kelas tertuju padanya.

Sementara itu, Ryan hanya menutup mata dengan santai, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

“Kenapa heboh?” gumamnya tanpa membuka mata. “Aku cuma capek.”

“Tapi kenapa harus di paha Hana?!” teriak salah satu temannya.

Hana semakin tenggelam dalam rasa malu. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Aku nyaman di sini,” jawab Ryan santai.

Hana nyaris ingin menendang Ryan saat itu juga, tapi ia terlalu salting untuk melakukan apa pun.

“Hana, seriusan, kamu nggak apa-apa?!” tanya salah satu anak perempuan di kelas Ryan.

Hana tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa menutupi wajahnya sambil berharap bumi menelannya saat itu juga.

Sementara Ryan, tanpa peduli pada kehebohan sekitar, hanya tersenyum kecil dan berkata pelan,

“Biarin aja. Aku cuma mau sebentar di sini.”
Dan entah kenapa, meskipun wajahnya masih merah karena malu Hana membiarkan Ryan tetap di sana.

                         🌷🌷🌷🌷🌷

Hii guyss hehe gimana ceritanya?? Seruu gaa?? Yaa aku mulai nulis lagii and klo ada kesalahan kalimat silahkan di komentar 😽 bantu support aku lagii yaahhh thankyou guyss.... JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, AND SUPPORT YAAA
Tunggu kelanjutannya yahh
     

Part Of ClassWhere stories live. Discover now