Hana hanya bisa menundukkan wajah, malu sekaligus senang. Ryan di sampingnya hanya terkekeh pelan, lalu dengan lembut menggenggam tangannya di bawah meja.

Suasana di mimpi itu terasa begitu nyata dan hangat. Hana merasa nyaman, seakan semua kebimbangannya hilang.

Tapi tiba-tiba…

Kring! Kring!

Suara alarm ponselnya berbunyi, membuat Hana tersentak bangun. Matanya terbuka perlahan, dan ia menatap langit-langit kamarnya dengan napas sedikit memburu.

Ia butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa itu hanyalah mimpi.

Tangannya menyentuh dadanya sendiri, merasakan jantungnya yang masih berdetak cepat.

"Apa mungkin ini tandanya aku memang harus menerima Ryan?"

Pikirannya semakin kacau, tetapi ada perasaan hangat yang tersisa dari mimpi itu.

Hari Minggu pagi.

Hana terbangun dengan rasa campur aduk setelah mimpi yang cukup mengganggu tidur nyenyaknya. Pagi itu, ia merasa sedikit lebih tenang, tapi juga bingung. Mimpi yang begitu jelas, seolah-olah menuntunnya untuk membuat keputusan. Namun, hatinya masih ragu.

Ia berjalan ke dapur untuk sarapan, menemukan adik-adiknya yang sedang asyik menonton TV di ruang keluarga. Mamahnya masih di luar rumah, sibuk dengan pekerjaan, jadi Hana menikmati waktu pagi sendirian.

Namun, pikirannya tak bisa lepas dari mimpi itu. "Apa benar aku harus memberi kesempatan ke Ryan?" pikirnya dalam hati, sambil memandangi roti yang ia olesi selai.

Ponselnya bergetar, membuat Hana sedikit terkejut. Itu pesan dari Ika.

Ika:
"Eh, gimana? Udah mutusin belum tentang Ryan? Kamu ada kabar terbaru?"

Hana menatap ponselnya, berpikir sejenak. Ia tahu bahwa Ika selalu mendukung apapun keputusan Hana, tetapi kali ini rasanya lebih berat. Menerima Ryan sebagai pacar pertama adalah langkah besar.

Hana (balas pesan):
"Gak tahu deh, aku masih bingung. Mimpi kemarin bikin aku kayak ragu-ragu. Aku sih masih mikir."

Ika langsung membalas, dan Hana merasa sedikit lebih lega. Ika selalu bisa memberikan perspektif yang berbeda.

Ika:
"Santai aja, yang penting kamu jujur sama diri sendiri. Kalau emang ngerasa cocok sama Ryan, kenapa nggak? Lagian, kalian udah temenan lama juga kan?"

Hana tersenyum membaca pesan itu, merasa sedikit lebih tenang. Ika benar, Ryan bukan orang asing baginya. Mereka sudah kenal lama, meskipun perasaan ini terasa baru bagi Hana.

Malamnya, setelah keluarga Hana pulang, ia memutuskan untuk menelfon Ryan. Ia ingin berbicara dengan Ryan secara langsung, mencari jawaban dari kebingungannya.

Hana:
"Ryan, bisa ngomong bentar? Aku udah mikir-mikir, dan aku mau tanya... kamu serius sama ini, kan?"

Di sisi lain, Ryan yang mendengar pertanyaan itu langsung merasa cemas, namun ia menjawab dengan penuh keyakinan.

Ryan:
"Serius banget, Hana. Aku nggak akan nyerah kalau kamu memang belum siap, tapi aku nggak mau buat kamu ngerasa tertekan."

Hana terdiam sejenak. "Serius banget, ya?" gumamnya dalam hati, merasa sedikit lebih tenang dengan jawaban Ryan yang tulus.

Dengan percakapan itu, Hana merasa seolah mendapat petunjuk. Mungkin inilah waktunya untuk memberi kesempatan pada perasaannya sendiri. Ia menutup percakapan malam itu dengan senyuman, meskipun keputusan besarnya belum sepenuhnya ada, ia merasa lebih tenang menghadapi apa pun yang akan datang.

Part Of ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang