Saat keluar kelas, Hana memutuskan untuk segera melangkah menuju gerbang sekolah. Namun, belum jauh dari kelas, tiba-tiba Ryan menghampirinya.

“Hana, tunggu,” Ryan memanggil dengan nada yang tak bisa disembunyikan. Hana menoleh, dan wajahnya langsung memerah lagi karena masih teringat percakapan tadi.

“Ada apa, Ryan?” Hana bertanya sambil berusaha menjaga nada suaranya agar tetap tenang, meskipun hatinya berdebar tak karuan.

“Gimana kalau kita pulang bareng lagi?” Ryan menawarkan, namun kali ini terdengar lebih serius daripada biasanya. “Biar kamu nggak jalan sendirian, aku antar deh.”

Hana terdiam sejenak. Ia tahu bahwa permintaan Ryan bukan sekadar untuk menawarkan tumpangan. Ada sesuatu di balik kalimat itu. "Emm... Ya, boleh sih, tapi…" Hana mencoba berpikir. “Tapi, nanti kalau ada yang lihat kita, kan jadi makin heboh, Ryan.”

Ryan mengangguk, seperti paham dengan kekhawatiran Hana. “Nggak masalah, kita cepat-cepat aja. Lagian, kalau dipikir-pikir, lebih aman kan? Soalnya, masih agak sore juga.”

Hana merasa sedikit lebih tenang mendengar itu, namun ada keraguan yang masih menggelayuti pikirannya. “Yaudah, deh. Makasih ya, Ryan.”

Ryan tersenyum lebar, dan tanpa banyak bicara lagi, mereka berdua berjalan menuju tempat parkir mobil. Hana merasa sedikit lega karena ada Ryan yang menemani, meski ada sedikit rasa aneh yang mulai muncul. Namun, ia berusaha menepisnya dan mencoba menikmati perjalanan pulang ini.

Sesampainya di mobil Ryan, suasana jadi sedikit lebih santai. Mobil mulai melaju, dan Hana merasa lebih nyaman dengan jalan yang mereka tempuh. Mereka berdua tidak banyak bicara, namun ada keheningan yang cukup akrab di antara mereka. Ryan sesekali melirik ke arah Hana, yang sedang menatap jalanan dengan pikiran yang entah kemana.

Tapi tiba-tiba, Ryan memecah keheningan.

“Eh, Hana,” katanya pelan, “terima kasih ya, tadi di kelas. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku masih bingung.”

Hana menoleh ke Ryan, bingung. “Maksudnya apa?”

Ryan hanya tersenyum samar, seolah tak ingin terlalu menjelaskan lebih jauh. “Pokoknya, kamu itu penting, Hana.”

Mendengar itu, Hana merasa jantungnya berdegup kencang lagi. “I-Iya, makasih juga, Ryan. Kamu nggak perlu bilang gitu deh,” jawabnya canggung, mencoba menghindari pandangan Ryan yang tajam.

Mobil terus melaju, dan Hana merasakan ketegangan yang semakin menurun, meskipun ada sesuatu yang masih belum bisa ia mengerti tentang perasaan Ryan terhadapnya.

Setelah perjalanan pulang yang agak hening itu, Hana akhirnya sampai di rumah. Begitu Ryan menurunkannya, ia mengucapkan terima kasih dan melangkah menuju pintu rumah. Ryan hanya tersenyum dan melambaikan tangan sebelum mobilnya melaju pergi. Hana berdiri di depan rumah beberapa detik, merenung sejenak, meresapi apa yang baru saja terjadi. Ada perasaan hangat yang mulai tumbuh, meski ia masih merasa sedikit bingung dengan semua yang terjadi.

Begitu masuk ke dalam rumah, Hana disambut oleh kesunyian yang biasa. Ia langsung melepaskan sepatu dan masuk ke kamar. Dulu, rumah ini selalu terasa penuh dengan kehadiran adik-adiknya, tetapi hari ini, hanya ada dirinya sendiri. Meskipun begitu, Hana merasa agak tenang. Mungkin ada baiknya juga bisa punya waktu untuk diri sendiri, untuk berpikir lebih jernih tentang apa yang terjadi belakangan ini.

Sambil duduk di tepi ranjang, Hana membuka handphone dan mengecek pesan-pesan yang masuk. Ada beberapa dari teman-temannya, dan salah satunya adalah Ryan yang mengirim pesan singkat: "Hati-hati di rumah, Hana. Kalau butuh teman cerita, aku selalu ada."

Pesan itu membuat Hana tersenyum kecil. Tanpa banyak berpikir, ia membalas singkat, "Makasih, Ryan. Kamu juga hati-hati."

Malam itu, Hana memutuskan untuk tidur lebih awal. Pikirannya masih penuh dengan apa yang terjadi hari ini, namun ia tahu bahwa esok adalah hari baru yang membawa kesempatan untuk memperjelas semua hal yang masih mengambang.

Besok, mungkin, dia akan lebih tahu apa yang harus dilakukannya.

Dan begitu, dengan perasaan campur aduk, Hana pun terlelap.

Pagi hari di akhir pekan terasa lebih tenang. Hana bangun agak siangan, menikmati suasana rumah yang sepi karena adik-adiknya sedang keluar kota bersama mamahnya. Ia duduk di meja makan dengan secangkir teh hangat, memandangi pemandangan luar jendela yang cerah. Pagi yang tenang, namun ada rasa canggung yang tiba-tiba muncul saat teringat kejadian beberapa hari lalu, terutama sikap Ryan yang mulai terlihat berbeda. Hana merasa ada yang perlu dibicarakan, tapi entah bagaimana cara mengungkapkannya.

Di sisi lain, Ryan merasa sedikit gelisah. Ia tahu perasaan terhadap Hana makin besar, namun ia tak tahu harus mulai dari mana. Ia bingung, khawatir jika perasaannya itu malah membuat semuanya berubah—mereka yang selama ini berteman dengan nyaman.

Ryan memutuskan untuk mencari kesempatan berbicara dengan Hana, namun dengan cara yang lebih santai. Ia menjemput Rama, yang sudah mengetahui kegelisahannya, untuk mencari waktu yang tepat. Mereka berdua sepakat untuk mengajak Hana jalan-jalan sebentar, berharap itu bisa membuka kesempatan untuk berbicara lebih dalam.

Setelah beberapa waktu, Hana mendapat pesan dari Ryan yang menanyakan apakah ia ingin pergi ke kafe bersama Rama dan beberapa teman lainnya. Hana sempat ragu, namun akhirnya memutuskan untuk ikut. Dia juga ingin mengalihkan pikirannya sejenak dan menikmati hari libur dengan teman-teman.

Pagi yang sepi berubah menjadi lebih ceria begitu Hana tiba di kafe, dan Ryan sudah menunggunya di sana bersama Rama. Mereka memesan minuman dan duduk di sudut kafe yang cukup tenang. Suasana ringan, namun Hana bisa merasakan bahwa Ryan ingin mengatakan sesuatu.

"Jadi...," Hana memulai dengan senyum kecil, "ada yang mau dibicarain?"

Ryan menundukkan kepala sejenak, ragu. Ia menganggap ini adalah kesempatan yang tepat, tetapi takut jika perasaan yang ia ungkapkan akan membuat semuanya berubah. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, Rama, yang duduk di sebelahnya, sengaja menyela.

"Nah, ini dia, Ryan. Jangan terlalu dipendem, kasih aja, kan Hana udah tau kamu punya perasaan. Ini kesempatan terbaik!" ujar Rama dengan nada bercanda, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya.

Ryan menatap Rama, lalu melirik Hana yang kini sudah mulai sedikit canggung. Hana bisa merasakan suasana yang berbeda, dan ia mulai curiga apa yang sebenarnya ingin dibicarakan Ryan. Tapi, ia memutuskan untuk tetap tenang dan memberi ruang untuk Ryan berbicara.

Ryan menarik napas dalam-dalam dan akhirnya berkata, "Hana, aku... sebenarnya punya perasaan lebih dari sekadar teman. Aku nggak tahu harus gimana, tapi aku rasa aku perlu bilang."

Hana terdiam beberapa saat, matanya menatap Ryan dengan tatapan yang sulit terbaca. Dia tahu ini akan datang, namun tidak menyangka kali ini Ryan akan benar-benar mengungkapkan semuanya.

                             ✨✨✨

Hii guyss hehe gimana ceritanya?? Seruu gaa?? Yaa aku mulai nulis lagii and klo ada kesalahan kalimat silahkan di komentar 😽 bantu support aku lagii yaahhh thankyou guyss.... JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, AND SUPPORT YAAA
Tunggu kelanjutannya yahh
             

Part Of ClassWhere stories live. Discover now