Hana tertegun. Sementara itu, Ika dan Risa langsung saling pandang, penasaran dengan jawaban Hana.
Hana menghela napas panjang. "Aduh, Nay, ini tuh bukan soal ada rasa atau enggak. Aku cuma nyaman temenan sama dia, gak lebih."
"Nyaman ya? Hmm… biasanya dari nyaman bisa jadi sayang, lho," goda Nayara sambil menaikkan alisnya.
Sebelum Hana sempat membalas, tiba-tiba Rafen berjalan melewati mereka menuju meja belakang. Sekilas, ia melirik ke arah Hana, tapi ekspresinya sulit ditebak.
Hana menoleh ke arah punggungnya, lalu mengembuskan napas. Entah kenapa, obrolan tentang Ryan ini membuatnya sedikit gelisah bukan karena Nayara, tapi karena perasaan aneh yang muncul saat melihat reaksi Rafen tadi.
Saat mereka masih sibuk menggoda Hana, tiba-tiba seseorang menghampiri mereka. Rama, teman dekat Ryan, berdiri di depan meja Hana dengan senyum lebar sambil membawa sebuah bingkisan kecil berwarna biru.
"Hana, ini titipan buat kamu," katanya, meletakkan bingkisan itu di atas meja Hana.
Hana mengernyit bingung. "Dari siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan dari Ryan?" Rama mengedipkan sebelah matanya jahil, lalu berbalik pergi sebelum Hana sempat menolak atau bertanya lebih lanjut.
Ika, Risa, dan Nayara langsung mendekat dengan ekspresi penuh antusias. "Buka! Buka!" desak Nayara, hampir tidak bisa menahan rasa penasarannya.
Hana menghela napas sebelum akhirnya membuka bingkisan itu. Di dalamnya, terdapat beberapa bungkus jajanan seperti chiki, coklat, dan permen. Namun, yang membuat Hana semakin penasaran adalah sebuah amplop kecil berwarna putih yang terselip di antara jajanan tersebut.
Dengan hati-hati, ia mengambil amplop itu dan membukanya. Di dalamnya ada secarik kertas dengan tulisan tangan yang khas:
"Buat Hana, ini sekadar bekal kecil biar harimu makin manis. Jangan kebanyakan begadang, nanti makin sering linglung. - Ryan."
Hana terpaku membaca surat itu. Pipinya perlahan memanas. Tanpa sadar, ia menutup surat itu cepat-cepat dan menaruhnya kembali ke dalam amplop.
Namun, tentu saja, Ika dan Risa sudah menyadarinya.
"Han… salting, ya?" goda Ika dengan senyum penuh arti.
Hana buru-buru menggeleng. "Enggak!" jawabnya cepat, tapi rona merah di wajahnya jelas mengkhianati ucapannya.
Nayara bersandar di meja sambil terkikik. "Duh, Han… Kalau kayak gini terus, gak heran kalau kita mulai nyiapin kapal buat kalian berdua."
Hana menghembuskan napas pelan, berusaha mengabaikan mereka, tapi hatinya masih berdebar. Ia menggenggam surat itu erat-erat, tidak bisa menahan senyum kecil yang mulai muncul di wajahnya.
Setelah bel istirahat berakhir, semua siswa kembali ke kelas masing-masing. Namun, setelah menunggu beberapa menit, guru yang seharusnya mengajar di jam berikutnya tidak kunjung datang. Suasana kelas awalnya tenang, beberapa siswa sibuk dengan tugas mereka, sementara yang lain malah bersorak girang karena menyadari bahwa mereka mendapatkan jam kosong.
Di tengah situasi ini, Nayara tiba-tiba mengeluarkan setumpuk kartu dari tasnya dan menggoyangkannya dengan senyum jahil.
"Eh, kita main truth or dare aja! Biar seru daripada diam saja," katanya penuh semangat.
Beberapa orang langsung tertarik, termasuk Hana, Ika, Risa, dan Anisa yang tadinya duduk santai. Selain itu, Nayara juga memanggil beberapa orang lain yang menurutnya seru untuk diajak bermain—Rafen, Abi, dan satu lagi yang belakangan ikut nimbrung, Ryan.
"Aku yakin pasti kamu bakal ngejebak kita," keluh Risa, pura-pura malas tapi tetap tertarik.
"Justru itu yang bikin seru! Ayo, ayo!" balas Nayara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Part Of Class
Fiksi RemajaSilahkan follow sebelum membaca yaa Kehidupan di masa putih abu-abu adalah masa dimana hal baru dimulai, perjalanan yang tak terduga membuat kita tak sadar bahwa selama ini hanya tersisa 1 tahun untuk melanjutkan ke tingkat kelas terakhir. Kelas s...
Part 26
Mulai dari awal
