Ia melirik ponselnya, membaca ulang chat terakhirnya dengan Anisa. Ada pesan suara yang tadi dikirimnya, yang isinya pengakuan Ryan tentang perasaannya ke Hana. Ia belum tahu apakah Anisa sudah mendengarnya atau belum.

Sambil memainkan sendok di dalam cangkirnya, Rama mendecak pelan. "Yakin, nih, lo nggak bakal nyesel, Ry?" katanya lebih kepada diri sendiri.

Matanya kembali mengarah ke museum, di mana Ryan kini berjalan di sebelah Hana. Rama menyeringai kecil.

"Kalau dia sadar perasaannya makin dalam, tinggal tunggu waktu sampai dia bener-bener nggak bisa nahan lagi."

Namun, setelah beberapa detik, senyum iseng Rama menghilang. Ada satu pertanyaan yang mengganggu pikirannya apa yang akan terjadi kalau Hana ternyata nggak merasakan hal yang sama?

Setelah pertanyaan itu muncul di benak Rama, ia hanya bisa menghela napas pelan. Namun, ia memilih untuk tidak membahasnya lebih jauh dan malah memperhatikan Ryan yang kini sedang berhadapan langsung dengan Hana.

Hana masih berusaha mengatur napasnya setelah insiden tadi, sementara Ryan menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. "Kamu semangat banget liat aku, ya?" godanya dengan nada santai.

Hana masih mencoba menghindari tatapan Ryan, tapi jelas wajahnya masih memerah. "Enggak juga. Aku cuma... ya... kaget aja liat kamu tiba-tiba ada di sini," jawabnya cepat.

Sementara itu, Ika dan Anisa yang berdiri tak jauh dari mereka saling bertukar pandang sebelum Ika akhirnya berbisik, "Menurut aku, Hana tuh udah jelas banget kelihatan kalau dia nyaman sama Ryan."

Anisa mengangguk pelan. "Iya, tapi nyaman itu kan beda sama suka."

Ika menatap Hana yang kini masih berbincang dengan Ryan, lalu kembali menoleh ke Anisa. "Kalau nyaman terus makin terbiasa, bisa jadi suka, kan?" tanyanya sambil tersenyum tipis.

Anisa hanya tertawa kecil mendengar jawaban itu. "Ya, kita lihat aja nanti."

Setelah pengumuman dari guru bahwa waktu kunjungan di museum sudah hampir habis, para siswa mulai bergegas menuju pintu keluar. Beberapa masih sibuk mengambil foto terakhir atau berbincang dengan teman-teman mereka.

Hana berjalan bersama teman-temannya menuju bis yang sudah menunggu di parkiran. Sementara itu, di sisi lain, Ryan dan Rama tetap di dekat mobil mereka, tidak terburu-buru seperti yang lain.

Saat Hana hendak naik ke bis, ia menoleh ke belakang dan melihat Ryan berdiri di samping mobil, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Rama, yang memperhatikan arah pandangan Hana, menyenggol Ryan sambil menyeringai. "Diliatin, tuh."

Ryan hanya melirik sekilas sebelum membuka pintu mobil. "Biasa aja, kali."

Di dalam bis, Hana duduk bersama teman-temannya. Suasana tetap ramai dengan obrolan dan candaan mereka yang masih terbawa suasana dari museum. Ia sempat melirik ke luar jendela dan melihat mobil Ryan serta Rama berada tepat di belakang bis mereka.

Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang dipikirkan oleh Rama. Tatapan laki-laki itu saat di museum terlihat berbeda, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang serius.

Sementara itu, di dalam mobil, Rama menyandarkan satu tangannya ke setir sambil melirik Ryan di sebelahnya. "Lo beneran yakin, kan?" tanyanya, nadanya lebih serius dari sebelumnya.

Ryan, yang sejak tadi hanya menatap jalan di depan mereka, menghela napas. "Gue nggak tahu jawabannya sekarang, Ram. Tapi gue udah mutusin buat jalan terus."

Rama mengangguk pelan. Namun, setelah beberapa detik, senyum isengnya menghilang. Ada satu pertanyaan yang mengganggu pikirannya apa yang akan terjadi kalau Hana ternyata nggak merasakan hal yang sama?

Part Of ClassWhere stories live. Discover now