Di luar museum, Ryan masih berada di kafe, menatap layar ponselnya. Rama belum membalas pesannya, dan dia hanya bisa bertanya-tanya apakah seharusnya dia benar-benar mengungkapkan perasaannya pada Hana atau tidak.
Di dalam museum, para siswa sibuk menjelajahi berbagai koleksi sejarah. Sementara itu, Ryan dan Rama memilih untuk nongkrong di kafe yang letaknya tidak jauh dari sana.
Ryan duduk dengan posisi santai, sesekali menyeruput kopi yang mulai mendingin di hadapannya. Sedangkan Rama, yang memilih es coklat, terlihat lebih fokus memainkan ponselnya.
"Lo gak masuk ke museum beneran?" tanya Rama tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
Ryan mengangkat bahu. "Ngapain? Gak menarik."
Rama mendengus. "Lo tuh yang gak bisa nikmatin sesuatu. Museum itu keren, tau."
Ryan hanya terkekeh kecil. Ia tahu Rama memang lebih menghargai hal-hal seperti itu. Namun, bukan itu yang membuat pikirannya sibuk saat ini.
Rama akhirnya meletakkan ponselnya, menatap Ryan dengan tatapan menyelidik. "Lo lagi kepikiran apa sih? Dari tadi diem mulu."
Ryan memainkan sendok kecil di tangannya, menatap isi cangkir kopinya sebelum akhirnya berkata, "Gue dapet firasat sesuatu bakal berubah."
Rama mengernyit. "Maksudnya?"
Ryan menghela napas. "Lo sadar gak sih, belakangan ini semuanya berasa beda? Terutama Hana."
Rama menaikkan satu alisnya. "Oh, jadi ini tentang Hana?"
Ryan mengangguk pelan. "Gue gak tau harus bereaksi gimana kalau nanti ada yang ngedeketin dia."
Rama terdiam sejenak sebelum tertawa kecil. "Lo serius? Kayaknya lo terlalu mikirin sesuatu yang belum tentu terjadi."
Ryan menyandarkan punggungnya ke kursi. "Mungkin."
Rama memandang temannya itu dengan tatapan penuh arti. "Lo sendiri udah tau perasaan lo ke Hana apa belum?"
Ryan diam, lalu tersenyum tipis. "Gue gak mau buru-buru ambil kesimpulan."
Rama menggeleng pelan, lalu kembali menyeruput minumannya. "Ya udah, lo pikirin sendiri. Tapi kalau lo terlalu lama, jangan nyesel kalau suatu hari lo lihat dia sama orang lain."
Ryan hanya diam, memandangi jalanan di luar kafe. Ada sesuatu di dadanya yang terasa mengganjal. Entah firasat buruk atau justru sesuatu yang seharusnya ia hadapi sejak lama.
Ryan masih memandangi jalanan di luar kafe, pikirannya berputar entah ke mana. Namun, matanya kemudian melirik ponsel Rama yang tergeletak di atas meja. Sekilas, ia melihat ada chat dari Anisa di layar notifikasi.
Ia mengernyit, lalu ingat sesuatu. "Eh, gue penasaran deh. Kenapa chat lo sama Anisa ada pesan suara segala? Trus di bawahnya ada tulisan ‘dengerin nanti’?"
Rama yang baru saja hendak menyeruput minumannya, langsung berhenti. Ia mendadak kaku. "Hah? Pesan suara?" tanyanya dengan nada setenang mungkin, tapi jelas ada kegugupan di matanya.
Ryan menatapnya curiga. "Iya, tadi gue sekilas lihat. Lo ngirim pesan suara ke Anisa, kan? Isinya apa?"
Rama mencoba berpikir cepat. "Oh, itu… cuma obrolan biasa, kok."
Ryan menyipitkan mata. "Lo yakin? Jangan-jangan…"
Tiba-tiba, ia teringat sesuatu. Chat itu muncul tepat setelah ia curhat soal Hana. Wajah Ryan langsung berubah. "Tunggu, lo gak mungkin—"
Rama buru-buru tertawa, meskipun canggung. "Udahlah, lo kebanyakan mikir. Gue gak mungkin ngelakuin hal yang aneh-aneh."
Tapi Ryan tetap menatapnya dengan penuh selidik. Ia mulai merasa ada sesuatu yang janggal. Sesuatu yang membuat perasaannya semakin tidak tenang.Setelah Ryan mulai curiga dengan Rama, suasana di antara mereka jadi agak canggung. Tapi sebelum Ryan bisa bertanya lebih lanjut, Rama buru-buru mengganti topik pembicaraan dengan bercanda tentang makanan mereka.
Namun, pikiran Ryan tetap tidak tenang. "Kalau benar dia kirim rekaman suara waktu gue curhat, Anisa pasti udah tahu... Dan kalau Anisa tahu, bisa jadi Ika juga tahu. Trus, kalau Ika tahu—" Ryan menggigit bibirnya, membayangkan skenario terburuk.
Di sisi lain, di dalam museum, Anisa dan Ika sedang berjalan berdua setelah selesai ke toilet. Mereka bicara pelan, tapi ekspresi Anisa terlihat penuh pertimbangan.
"Aku masih bingung... Haruskah kita kasih tahu Hana?" tanya Anisa.
Ika menatapnya sambil berpikir. "Menurut ku, jangan dulu. Kalau Hana tahu sekarang, dia pasti jadi canggung banget sama Ryan."
Anisa menghela napas. "Iya, tapi aku juga kasihan sama Ryan. Dia nahan perasaan dari lama."
Mereka berdua terdiam sejenak, sebelum akhirnya Ika berkata, "Kita lihat situasi dulu aja. Kalau mereka ada perkembangan, baru kita pikirin lagi."
Sementara itu, Ryan di kafe masih gelisah, mencoba mencari cara untuk memastikan apakah rekaman suara itu benar-benar dikirim atau tidak.
Ryan dan Rama akhirnya kembali ke museum setelah cukup lama mengobrol di kafe. Begitu memasuki area museum, mereka melihat rombongan siswa masih sibuk menjelajahi berbagai koleksi sejarah. Suasana cukup ramai dengan beberapa kelompok yang berdiskusi serius, sementara yang lain hanya berjalan-jalan santai menikmati suasana.
Ryan secara refleks langsung mencari sosok Hana di antara kerumunan. Pandangannya menyapu ruangan hingga akhirnya menemukan Hana yang sedang berdiri bersama kelompoknya. Namun, perhatiannya langsung tertuju pada satu hal—Hana berdiri cukup dekat dengan Rafen.
"Lo ngapain sih lihatin dia terus?" Rama meledek dengan nada bercanda.
"Apaan sih, biasa aja," Ryan berusaha bersikap santai, tapi jelas ada sesuatu yang mengganggunya.
Di sisi lain, Hana sedang mendengarkan penjelasan pemandu museum. Ia berdiri di samping Ika, sementara Rafen berdiri sedikit di belakang mereka. Kelompok mereka tampak lebih serius dibandingkan kelompok lain yang hanya sibuk bercanda.
"Sebenernya museum ini menarik nggak sih?" Zayn bertanya dengan nada datar.
Rafen yang jarang berbicara dalam kelompok tiba-tiba menanggapi, "Kalau kamu serius ngeliatin, pasti ada yang menarik."
Hana secara refleks melirik Rafen. Jawaban itu cukup tidak terduga darinya, mengingat Rafen bukan tipe yang sering berbicara dalam diskusi kelompok.
Namun, tiba-tiba…
"OH MY GOD! ADA APA DI SINI?!"
Suara Nayara menggema di ruangan museum, membuat beberapa kelompok lain menoleh. Hana yang kaget langsung menatap Nayara dengan ekspresi bingung.
"Nay, apaan sih?" Ika bertanya heran.
"TADI AKU LIHAT! KALIAN BERDUA!" Nayara menunjuk Hana dan Rafen secara bergantian dengan ekspresi dramatis.
Sontak, Hana merasa seluruh perhatian tertuju padanya dan Rafen. Beberapa siswa dari kelompok lain ikut memperhatikan dengan tatapan penasaran.
"Nggak ada apa-apa," Hana buru-buru menyangkal, tapi wajahnya sedikit memerah.
Namun, Nayara yang sudah terlanjur heboh tetap berdiri dengan ekspresi tidak percaya, seolah baru saja menemukan sesuatu yang besar.
Sementara itu, Ryan yang melihat kejadian dari jauh hanya diam. Ia tidak mendengar dengan jelas apa yang terjadi, tapi ia bisa melihat bagaimana Hana dan Rafen tiba-tiba menjadi pusat perhatian.
Dan entah kenapa, perasaan tidak nyaman kembali muncul di hatinya.
🌷🌷🌷
Terkadang, hal-hal kecil yang terlihat sepele bagi orang lain bisa memiliki arti yang lebih dalam bagi seseorang. Entah itu sebuah tatapan sekilas, jarak yang terlalu dekat, atau bahkan kehebohan yang berlebihan semuanya bisa mengubah suasana hati seseorang tanpa disadari. ~Anonymous
✨✨✨
Hii guyss hehe gimana ceritanya?? Seruu gaa?? Yaa aku mulai nulis lagii and klo ada kesalahan kalimat silahkan di komentar 😽 bantu support aku lagii yaahhh thankyou guyss.... JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, AND SUPPORT YAAA
Tunggu kelanjutannya yahh
💫HAPPY READING GUYS 💫
YOU ARE READING
Part Of Class
Teen FictionSilahkan follow sebelum membaca yaa Kehidupan di masa putih abu-abu adalah masa dimana hal baru dimulai, perjalanan yang tak terduga membuat kita tak sadar bahwa selama ini hanya tersisa 1 tahun untuk melanjutkan ke tingkat kelas terakhir. Kelas s...
Part 22
Start from the beginning
