Di Rumah Sakit
Ryan berjalan cepat di lorong rumah sakit, menggendong Hana yang masih dalam kondisi lemas. Ia langsung menuju bagian IGD, di mana perawat segera membantunya meletakkan Hana di ranjang pasien. Tak lama, dokter datang untuk memeriksa kondisinya.
"Pasien mengalami dehidrasi dan demam tinggi," kata dokter sambil mencatat sesuatu di clipboard. "Kami akan memberikan infus dan menurunkan panasnya dulu."
Ryan mengangguk tanpa berkata apa-apa. Matanya terus menatap Hana yang masih terbaring dengan napas pelan. Hatinya gelisah. Ia merasa bersalah karena tidak menyadari kondisi Hana lebih awal.
Beberapa menit kemudian, perawat mulai memasang infus di tangan Hana. Saat jarum menusuk kulitnya, kelopak mata Hana sedikit bergerak sebelum akhirnya perlahan membuka.
Ryan langsung mendekat. "Kamu sadar?" tanyanya pelan.
Hana mengerjap beberapa kali, matanya menatap langit-langit ruangan putih di sekelilingnya. "Ini… di mana?" suaranya terdengar lemah.
"Kamu di rumah sakit," jawab Ryan. "Aku bawa kamu ke sini karena kamu demam tinggi. Kamu tahu nggak sih, kamu bikin aku panik?"
Hana menatap Ryan dengan mata sayu. Tubuhnya terasa sangat lemas. "Kenapa kamu di sini…?"
Ryan menghela napas. "Nanti aja kita bahas. Sekarang istirahat dulu, ya?"
Hana ingin menjawab, tapi kepalanya terasa berat. Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan dan memejamkan mata lagi. Ryan tetap di tempatnya, tidak berniat pergi.
Sementara itu, di sekolah, suasana kelas masih ramai membahas absennya Hana. Apalagi setelah menyadari bahwa Ryan juga tidak masuk hari ini.
"Jangan-jangan mereka pergi bareng lagi?" celetuk salah satu teman.
"Mana kita tahu. Tapi aneh sih, kemarin Hana tiba-tiba menghilang tanpa kabar, sekarang Ryan juga nggak ada," tambah yang lain.
Ika, yang sedari tadi diam, akhirnya membuka chat-nya. Ia mencoba menghubungi Hana dan Ryan, tapi tidak ada respons.
"Aku punya firasat buruk," gumamnya.
"Jangan berpikiran aneh-aneh dulu," kata Risa. "Mungkin mereka cuma ada urusan masing-masing."
Tapi entah kenapa, perasaan Ika tetap tidak tenang. Ia menatap layar HP-nya dengan gelisah, berharap salah satu dari mereka segera membalas pesan.
Ryan melirik ponsel Hana yang tergeletak di meja kecil di samping ranjang. Layarnya hitam, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ia mengambilnya dan mencoba menyalakan, tapi tidak ada respons.
"Kayaknya habis baterai," gumamnya.
Ia kemudian merogoh tasnya, mengambil charger yang kebetulan sama dengan milik Hana. Dengan sigap, ia mencolokkan charger ke stop kontak dan menghubungkannya ke ponsel Hana. Lampu indikator menyala, menandakan ponselnya mulai mengisi daya.
Sambil menunggu, Ryan kembali duduk di kursinya. Ia menatap Hana yang masih terbaring dengan wajah pucat. Nafasnya lebih stabil dibanding tadi, tapi masih terlihat lemah.
Ryan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, menghela napas panjang. Hari ini benar-benar melelahkan.
Ryan hanya melirik sekilas ke layar ponselnya yang terus bergetar karena notifikasi pesan. Namun, ia memilih untuk mengabaikannya. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket, membiarkan chat-chat itu menumpuk tanpa jawaban.
Suasana kamar rumah sakit terasa hening. Hana masih terbaring lemah, sesekali mengerang pelan dalam tidurnya. Ryan duduk di kursi samping ranjang, menopang dagunya dengan tangan. Pikirannya berkecamuk.
YOU ARE READING
Part Of Class
Teen FictionSilahkan follow sebelum membaca yaa Kehidupan di masa putih abu-abu adalah masa dimana hal baru dimulai, perjalanan yang tak terduga membuat kita tak sadar bahwa selama ini hanya tersisa 1 tahun untuk melanjutkan ke tingkat kelas terakhir. Kelas s...
Part 15
Start from the beginning
