Pesannya terkirim, tetapi hanya ada satu centang. Belum terkirim.
Ika menghela napas dan mencoba menghubungi Ryan.
Ika: Ryan, lo di mana? Lo sama Hana, ya?
Namun, hasilnya sama. Satu centang.
"Masih gak bisa dihubungi?" tanya Risa yang duduk di sampingnya, ikut penasaran.
Ika menggeleng pelan. "Iya, masih satu centang semua."
Anissa yang ikut mendengar percakapan mereka menimpali, "Mungkin mereka lagi di tempat yang susah sinyal."
Ika menatap layar ponselnya dengan raut bingung. "Atau mereka emang sengaja matiin HP?"
Sementara itu, beberapa anak di kelas juga mencoba menghubungi Hana. Ada yang lewat WhatsApp, Instagram, bahkan ada yang mencoba menelepon langsung. Tapi hasilnya nihil.
"Gila, sih. Semua chat gue ke Hana masih ceklis satu!" seru seorang teman sekelas mereka.
"Lo aja, gue juga!" sahut yang lain.
"Gue udah coba nelpon, tapi langsung ke voicemail!"
Suasana kelas makin dipenuhi gumaman dan spekulasi. Beberapa anak mulai berasumsi macam-macam.
"Jangan-jangan mereka kabur dari sekolah gara-gara ada masalah?"
"Atau mereka lagi jalan-jalan bareng?"
Rafen yang duduk di bangku belakang hanya diam. Ia tak berusaha menghubungi Hana ataupun Ryan, tapi telinganya menangkap semua percakapan itu. Wajahnya tetap datar, tapi jari-jarinya mengetuk meja pelan, menunjukkan kegelisahan yang ia tahan.
Ika melirik ke arah Rafen sejenak sebelum kembali fokus ke ponselnya. Ia mencoba mengetik satu pesan lagi untuk Hana.
Ika: Kalau lo lagi butuh waktu sendiri, gak apa-apa. Tapi setidaknya kasih kabar, ya? Gue khawatir.
Namun, lagi-lagi hanya satu centang.
Ika menghela napas dalam. Hana, lo sebenernya lagi di mana?
Setelah menghabiskan waktu cukup lama di panti asuhan, Hana dan Ryan akhirnya harus berpamitan. Mereka sudah bermain dengan anak-anak, membagikan jajanan, dan bahkan menghabiskan banyak waktu di bagian bayi.
Namun, saat mereka bersiap untuk pulang, tiba-tiba seorang anak kecil berusia sekitar lima tahun menarik ujung baju Hana dengan mata berkaca-kaca.
"Kakak jangan pulang..." suara anak kecil itu terdengar lirih, hampir bergetar.
Hana terkejut, lalu berjongkok untuk menyamai tinggi si anak. "Kenapa, sayang?" tanyanya lembut, mengusap pipi si anak.
"Aku masih mau main sama Kakak... Jangan pulang dulu..." Anak itu mulai terisak, bibir mungilnya bergetar.
Ryan yang berdiri di samping Hana ikut jongkok dan tersenyum. "Kakak sama Kak Hana harus pulang, tapi nanti Kakak pasti ke sini lagi," katanya sambil mengusap kepala anak itu.
Namun, anak kecil itu tetap menangis, lalu tiba-tiba melompat memeluk Hana erat. "Aku mau ikut Kakak aja..."
Hana tersenyum tipis, merasa terenyuh. Ia membalas pelukan si anak dengan lembut, mengusap punggungnya pelan agar tangisnya mereda. "Sayang, Kakak pasti datang lagi, janji. Tapi Kakak harus pulang dulu hari ini, ya?"
Anak itu menggeleng sambil tetap memeluk Hana erat, tak ingin melepaskan.
Melihat itu, seorang pengasuh panti datang menghampiri sambil tersenyum. "Maaf, Kak. Anak-anak di sini memang sering merasa dekat dengan pengunjung, terutama yang mereka sukai," katanya pelan.
YOU ARE READING
Part Of Class
Teen FictionSilahkan follow sebelum membaca yaa Kehidupan di masa putih abu-abu adalah masa dimana hal baru dimulai, perjalanan yang tak terduga membuat kita tak sadar bahwa selama ini hanya tersisa 1 tahun untuk melanjutkan ke tingkat kelas terakhir. Kelas s...
Part 14
Start from the beginning
