Setelah sekitar 30 menit perjalanan, Ryan membelokkan mobilnya ke area parkir sebuah supermarket besar di pinggir kota. Supermarket ini jauh lebih lengkap dibanding yang sebelumnya dikunjungi Hana.
"Kita beli lebih banyak di sini aja, sekalian yang tahan lama," kata Ryan sambil membuka pintu mobil.
Hana mengangguk setuju, lalu keluar dari mobil dan mengikuti Ryan masuk ke dalam supermarket. Keduanya mengambil troli dan mulai berjalan menuju rak makanan ringan. Hana memilih beberapa bungkus biskuit, susu kotak, dan permen, sementara Ryan mengambil beberapa kotak jus serta wafer cokelat.
"Anak-anak di panti biasanya suka yang kayak gini," ujar Hana sambil menaruh beberapa bungkus permen warna-warni ke dalam troli.
Ryan mengangguk. "Kita cari mainan juga, ya?"
Mereka pun menuju area perlengkapan bayi dan mainan anak-anak. Hana memilih boneka beruang kecil dan beberapa mainan edukatif, sedangkan Ryan mengambil bola kecil serta mobil-mobilan.
Setelah merasa cukup, mereka segera menuju kasir. Saat pembayaran, Ryan menahan tangan Hana yang hendak mengeluarkan dompetnya.
"Aku aja," katanya singkat.
Hana menatapnya ragu. "Tapi—"
"Nggak apa-apa, anggap aja ini patungan," potong Ryan dengan senyum meyakinkan.
Meskipun masih agak sungkan, Hana akhirnya mengalah dan membiarkan Ryan yang membayar semuanya. Setelah belanjaan selesai dipacking, mereka kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan menuju panti asuhan.
Setelah menempuh perjalanan panjang selama kurang lebih 1 jam 25 menit, akhirnya mobil Ryan memasuki area sebuah panti asuhan yang cukup besar dan luas. Bangunan panti tampak bersih dan terawat dengan halaman yang cukup lapang. Suasana di dalamnya juga cukup ramai karena banyak kunjungan, mengingat panti ini bukan hanya untuk anak-anak, tetapi juga untuk bayi yang membutuhkan perawatan khusus.
Ryan memarkirkan mobilnya di area parkir yang disediakan. Hana menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit gugup tetapi juga bersemangat. Ini adalah pertama kalinya ia datang ke panti asuhan yang sebesar ini.
“Kita langsung masuk aja?” tanya Ryan sambil melepas sabuk pengamannya.
Hana mengangguk. “Iya, tapi kita bawa barang-barangnya dulu.”
Mereka turun dari mobil dan mulai mengambil kantong-kantong belanjaan yang berisi jajanan, susu, serta mainan yang telah mereka beli di supermarket tadi. Saat hendak masuk, seorang pengurus panti menghampiri mereka dengan senyum ramah.
“Selamat datang di Panti Asuhan Cahaya Kasih. Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita berusia sekitar 40-an itu dengan lembut.
“Iya, Bu. Kami ingin berkunjung dan berbagi sedikit dengan anak-anak di sini,” jawab Hana sopan.
“Oh, tentu. Silakan masuk,” ujar wanita itu, kemudian mempersilakan mereka masuk ke dalam bangunan utama panti.
Begitu mereka masuk, suara tawa anak-anak terdengar memenuhi ruangan. Beberapa anak yang lebih besar terlihat bermain di ruang tengah, sementara di bagian lain ada beberapa bayi yang dirawat oleh pengasuh. Melihat pemandangan itu, Hana merasa hatinya sedikit lebih ringan.
Ryan menoleh ke Hana. “Mau mulai dari mana dulu?”
Hana tersenyum kecil. “Kayaknya aku mau ke anak-anak kecil dulu, baru nanti ke bagian bayi.”
Ryan mengangguk setuju, lalu mereka berjalan ke arah sekumpulan anak-anak kecil yang langsung menyambut mereka dengan penuh antusias.
Setelah menggendong beberapa bayi dan bermain dengan mereka, Hana tersenyum lembut, merasa begitu nyaman berada di sana. Sesekali, bayi yang digendongnya menggenggam jari telunjuknya dengan erat, membuat hatinya semakin luluh. Ryan yang melihatnya hanya bisa tersenyum sambil memperhatikan Hana dari kejauhan.
"Kamu suka banget sama anak kecil, ya?" tanya Ryan akhirnya, mendekati Hana yang masih mengayun pelan bayi dalam gendongannya.
Hana mengangguk, matanya masih tertuju pada bayi mungil di pelukannya. "Iya. Mereka tuh... polos, gak punya beban hidup kayak kita. Rasanya nyaman aja kalau deket mereka," ucapnya pelan.
Ryan duduk di samping Hana, menyandarkan punggungnya ke tembok. "Aku baru pertama kali liat kamu sesenang ini. Biasanya, kamu lebih sering nahan perasaan, kan?"
Hana menghela napas. Ia tahu maksud perkataan Ryan. Selama ini, ia sering menyembunyikan apa yang ia rasakan, berusaha terlihat baik-baik saja di depan orang lain.
"Aku ngerasa... kalau di sini, aku bisa lupa sejenak sama semua masalah," kata Hana akhirnya. "Gak ada yang ngejudge, gak ada yang bikin pusing. Cuma ada anak-anak kecil yang butuh kasih sayang."
Ryan menatap Hana dalam-dalam. Ia bisa merasakan bahwa Hana sedang mencari tempat untuk menenangkan hatinya. "Kalau kamu butuh tempat buat cerita, aku selalu ada, Han," ucapnya tulus.
Hana menoleh, menatap Ryan dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia tersenyum tipis, lalu kembali menatap bayi di gendongannya. "Makasih, Ry. Aku hargai itu."
Ryan tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya tersenyum, lalu mengacak pelan rambut Hana sebelum berdiri. "Ayo, kita masih punya banyak waktu di sini. Kamu masih mau main sama mereka, kan?"
Hana mengangguk cepat. "Jelas!" jawabnya dengan mata berbinar.
Mereka pun kembali menghabiskan waktu di panti asuhan, bermain dan berbagi kebahagiaan dengan anak-anak di sana.
Di dalam panti asuhan yang luas, Hana terlihat begitu bahagia. Ia bermain dengan anak-anak kecil, tertawa riang sambil berlari ke sana kemari. Anak-anak itu tampak senang dengan kehadirannya, tertawa ceria saat Hana mengajak mereka bermain tepuk tangan dan kejar-kejaran kecil di halaman panti.
Ryan, yang sejak tadi mengamati dari jauh, hanya bisa tersenyum tipis. Ia melihat betapa tulusnya Hana saat berinteraksi dengan anak-anak. Setelah beberapa saat, Hana berpindah ke bagian bayi. Matanya berbinar ketika melihat deretan bayi mungil yang tertidur atau bermain dengan boneka di boks mereka.
"Gemes banget..." gumam Hana sambil menggendong salah satu bayi yang tersenyum padanya. Ia mengayun bayi itu perlahan, menatap wajah polosnya dengan penuh kasih sayang.
Ryan tetap diam, menyandarkan punggungnya ke dinding dan memperhatikan Hana yang begitu menikmati waktunya. Ada perasaan hangat di dadanya saat melihat senyum tulus Hana. Tanpa sadar, ia tersenyum sendiri.
"Lo keliatan seneng banget," ujar Ryan pelan.
Hana mengangkat wajahnya, masih menggendong bayi di pelukannya. "Iya, aku suka banget sama bayi. Mereka tuh lucu, imut, dan bikin hati adem," ujarnya sambil tersenyum lebar.
Ryan hanya mengangguk, memperhatikan bagaimana Hana membelai kepala bayi itu dengan lembut. Saat itu, ia semakin yakin bahwa Hana adalah seseorang yang penuh kasih sayang. Dan ia suka melihatnya begitu.
Sementara itu, di sekolah, suasana kelas Hana cukup gaduh. Beberapa siswa bertanya-tanya tentang absennya Hana, terutama karena ia tidak memberi kabar sebelumnya.
Di bangku belakang, Fadlan menoleh ke arah Ika yang sedang berbicara dengan Risa dan Anissa. "Eh, Ika, lo kapan terakhir ngechat Hana?" tanyanya.
Ika yang tengah menggulung earphone-nya mengangkat bahu. "Aku nggak ngechat dia. Soalnya ya... aku pikir dia lagi butuh waktu sendiri."
Risa mengernyit. "Tapi biasanya dia kan kasih kabar kalau nggak masuk. Kok sekarang nggak?"
"Gak tau juga," jawab Ika. "Mungkin emang lagi nggak mau diganggu."
Sementara itu, salah satu teman dekat Ryan juga merasa aneh karena Ryan pun tidak masuk sekolah hari ini. Ia melirik ke arah kursi Ryan yang kosong, lalu kembali melihat ke arah Ika dan yang lainnya.
"Eh, bukan cuma Hana, Ryan juga gak masuk, loh," katanya tiba-tiba.
Mereka saling bertukar pandang. Apakah ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang terjadi?
✨✨✨
Hii guyss hehe gimana ceritanya?? Seruu gaa?? Yaa aku mulai nulis lagii and klo ada kesalahan kalimat silahkan di komentar 😽 bantu support aku lagii yaahhh thankyou guyss.... JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, AND SUPPORT YAAA
Tunggu kelanjutannya yahh
💫HAPPY READING GUYS 💫
YOU ARE READING
Part Of Class
Teen FictionSilahkan follow sebelum membaca yaa Kehidupan di masa putih abu-abu adalah masa dimana hal baru dimulai, perjalanan yang tak terduga membuat kita tak sadar bahwa selama ini hanya tersisa 1 tahun untuk melanjutkan ke tingkat kelas terakhir. Kelas s...
Part 13
Start from the beginning
