Mereka berjalan keluar kelas menuju koridor yang sedikit lebih sepi. Hana bisa merasakan detak jantungnya sedikit lebih cepat dari biasanya. Kenapa dia ngajak aku keluar? Ada apa, sih?

Setelah sampai di tempat yang cukup jauh dari keramaian kelas, Rafen akhirnya membuka suara.

“Aku penasaran,” katanya tanpa basa-basi.

Hana berkedip, masih belum bisa menangkap arah pembicaraannya. “Penasaran apa?”

Rafen memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. “Kenapa kamu suka nyanyi?”

Hana menatapnya, terkejut dengan pertanyaan yang cukup sederhana tapi juga tidak terduga.

“Kenapa?” ulang Rafen, nadanya terdengar serius.

Hana menggigit bibirnya sesaat, mencoba merangkai jawaban. “Aku nggak tahu pasti. Aku cuma merasa nyaman aja kalau nyanyi. Kayak aku bisa lupa sebentar sama hal-hal yang bikin capek.”

Rafen mengangguk pelan, tampaknya berpikir. “Ryan bilang kamu lumayan berbakat.”

Hana tersenyum canggung. “Dia cuma berlebihan aja.”

“Tapi kamu sendiri gimana?” tanya Rafen lagi, matanya mengamati ekspresi Hana. “Kamu suka nyanyi buat diri sendiri atau ada sesuatu yang pengen kamu capai?”

Hana terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Rafen bisa sepenasaran ini tentang dirinya.

“Aku belum kepikiran buat jadi penyanyi atau semacamnya,” akhirnya Hana menjawab jujur. “Aku cuma nyanyi karena suka, karena itu bagian dari aku.”

Rafen memperhatikan Hana beberapa detik sebelum akhirnya menatap langit sebentar. “Menarik.”

Hana menatapnya dengan bingung. “Kenapa sih kamu nanya ini?”

Rafen mengangkat bahu. “Cuma penasaran aja.”

Jawaban yang sama seperti sebelumnya.

Hana masih ingin bertanya lebih lanjut, tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Rafen sudah lebih dulu berjalan kembali ke arah kelas.

“Kita balik.”

Hana hanya bisa mengikuti di belakangnya, masih bertanya-tanya kenapa Rafen tiba-tiba begitu tertarik untuk mengetahui tentang dirinya.

Saat jam menunjukkan pukul 12.30, bel tanda istirahat kedua berbunyi. Itu artinya, sudah waktunya sholat Zuhur bersama.

Ika menoleh ke arah Hana, lalu menepuk bahunya pelan. “Hana, ayo ke mushola.”

Hana mengangguk, lalu menutup bukunya yang sejak tadi terbuka. Anisa dan Risa juga ikut berdiri, bersiap-siap menuju tempat wudhu.

Koridor menuju mushola dipenuhi oleh siswa-siswi yang juga bersiap untuk sholat. Hana berjalan berdampingan dengan teman-temannya, sementara pikirannya masih sedikit teringat pada percakapannya dengan Rafen tadi.

Kenapa dia tiba-tiba nanyain soal Ryan?

Sesampainya di tempat wudhu, Hana segera menggulung lengan bajunya dan membasuh wajahnya dengan air dingin. Rasanya menyegarkan setelah seharian berada di dalam kelas yang cukup panas.

Setelah selesai, mereka melangkah masuk ke dalam mushola, di mana beberapa siswa sudah mulai menggelar sajadah dan merapikan shaf. Hana dan teman-temannya memilih tempat di barisan tengah.

Begitu sholat dimulai, Hana mencoba mengosongkan pikirannya dan fokus beribadah. Namun, di sela-sela ketenangan itu, bayangan ekspresi Rafen tadi tetap saja muncul di benaknya.

Apa dia cemburu?

Hana buru-buru mengusir pikiran itu. Tidak mungkin. Mereka bahkan jarang berbicara sejak awal masuk sekolah. Lagipula, Rafen bukan tipe orang yang peduli soal begituan, kan?

Part Of ClassWhere stories live. Discover now