Di grup kecilnya bersama Ika, Risa, dan Anissa, percakapan terakhir masih seputar dirinya yang ingin tidur dan lelucon Risa tentang Rafen. Hana hanya membaca sekilas sebelum berpindah ke grup kelas.

Di sana, suasana jauh lebih ramai. Banyak yang sedang mendiskusikan persiapan lomba untuk tanggal 18 Agustus. Ada yang sibuk mengatur daftar peserta, ada yang menawarkan diri untuk membantu, dan tidak sedikit yang hanya berkomentar tanpa memberi solusi.

Percakapan di Grup Kelas

Saat Hana membuka grup kelasnya, puluhan pesan baru sudah menumpuk. Ia menggeser layar ke atas, mencoba memahami topik yang sedang ramai dibicarakan.

Valeska: "Yang penting ada dulu pesertanya. Kita butuh tiga orang buat lomba paskibra, baru Rafen yang fix ikut."

Arga: "Iya, tinggal dua orang lagi. Siapa nih?"

Tidak ada yang langsung menjawab. Pesan-pesan berikutnya justru dipenuhi berbagai alasan dari teman-teman sekelasnya.

Abi: "Gue ogah, capek banget pasti."

Awa: "Aku juga nggak bisa, udah daftar buat lomba tari."

Zafran: "Kalau nggak ada yang mau, ya udah, nggak usah ikut aja."

Arga: "Eh jangan gitu dong, kita harus tetap kirim perwakilan!"

Hana membaca semua pesan itu tanpa niat untuk ikut nimbrung. Ia tahu lomba paskibra bukan hal yang mudah. Selain latihan fisik yang berat, mereka juga harus latihan secara rutin biar bisa tampil maksimal.

Fatur: "Ayo dong, siapa yang mau? Kasian Rafen sendirian."

Rafen: "Iya, masa gue sendiri sih? Minimal ada satu lagi lah biar nggak malu-maluin."

Arga: "Gimana kalau Dirga aja yang ikut? Tinggal satu orang lagi, kan?"

Dirga: "Nggak bisa, aku udah keluar dari paskib."

Setelah beberapa saat, akhirnya ada yang mengalah.

Gavin: "Ya udah deh, gue ikut aja."

Valeska: "Hmm... kalau nggak ada cewek yang mau juga, aku ikut aja deh."

Arga: "Nah, gitu dong! Akhirnya lengkap!"

Setelah membaca semua percakapan itu, Hana hanya menghela napas kecil. Setidaknya sekarang masalah di grup kelasnya sudah selesai untuk sementara. Ia meletakkan ponselnya di samping bantal dan memejamkan mata lagi.

Ia menghela napas kecil. Mungkin karena lelah, atau mungkin karena membaca obrolan di grup tadi. Kelas mereka memang sering ribut soal hal-hal seperti ini, tapi entah kenapa, kali ini terasa sedikit berbeda.

Hana menutup mata, berusaha mengosongkan pikirannya. “Besok aja mikirin yang lain,” batinnya. Ia menarik selimut lebih rapat, membiarkan kantuk perlahan mengambil alih. 

  Hana menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya ke kursi. Sejak pulang sekolah tadi, ia sibuk dengan handphonenya, membaca percakapan di grup kelas yang tak kunjung sepi. Rasanya baru sebentar ia membuka ponsel, tapi saat melirik jam dinding, jarum pendek sudah menunjuk angka lima, sementara jarum panjang hampir menyentuh angka enam.

“Udah setengah enam?” gumamnya kaget. Baru saat itu ia sadar bahwa sejak pulang sekolah, ia belum mandi, belum membereskan kamar, bahkan belum sholat ashar. Perutnya juga mulai terasa kosong, menandakan waktu makan malam sudah dekat.

Dengan sedikit panik, Hana bangkit dari kursinya. Kamar yang berantakan dengan buku-buku tersebar di meja dan bantal yang tidak tersusun membuatnya semakin gelisah. Biasanya, ibunya akan mengetuk pintu dan mengingatkannya, tetapi hari ini rumah terasa lebih tenang.

Saat ia baru melangkah keluar kamar, suara Rania membuatnya berhenti.

"Kak, hp Kakak bunyi terus, sih? Berisik banget!" seru Rania sambil melongok dari pintu kamar.

Hana menoleh. Ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar lagi, layar menyala dengan notifikasi dari grup kelas. Ia ragu sejenak, tapi rasa penasaran menang. Tangannya meraih ponsel dan membuka percakapan terbaru.

Pesan dari Ika muncul di layar:
Ika: Hana, lo liat ini gak? Gila, kok bisa sampe begini?

Hana mengernyit, lalu menggulir ke atas untuk mencari tahu apa yang sedang dibahas. Begitu membaca beberapa chat terakhir, matanya membesar.

Gavin keluar dari tim paskibra.

Di grup, suasana langsung riuh. Beberapa orang panik karena itu berarti hanya tersisa dua peserta, sementara lomba tinggal beberapa hari lagi.

Arga: Ini gimana? Kalau gak ada pengganti, kelas kita gak bisa ikut lomba!

Valeska: Gue gak bisa latihan cuma berdua sama Rafen doang. Harusnya tiga orang!

Dirga: Gak bisa maksa orang juga sih. Tapi kenapa Gavin tiba-tiba keluar?

Ika: Nah, itu dia! Katanya… gara-gara Rafen!

Hana terdiam. Matanya terpaku pada nama Rafen. Ia kembali menggulir layar, mencari jawaban.

Raisa: Tadi siang Gavin bilang dia gak nyaman karena ngerasa Rafen gak niat latihan bareng mereka.

Arga: Lah, Rafen kenapa?

Raisa: Katanya waktu latihan kemarin, Rafen gak serius. Dia malah duduk di pinggir lapangan pas Gavin dan Valeska latihan gerakan.

Valeska: Iya sih… Dia diem aja, gak nyoba gerakan sekali pun.

Gavin: Bukan cuma itu. Dia juga gak pernah nanya apa pun ke kita. Gue jadi ngerasa kayak latihan sendiri.

Hana menggigit bibirnya. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi membaca ini saja sudah cukup membuat suasana di kelas terasa lebih tegang.

Ponselnya kembali bergetar.

Ika: Hana, menurut lo Rafen emang gitu, ya? Atau ada alasan lain? Gue pengen nanya langsung ke dia, tapi kayaknya bakal awkward banget…

Hana mengetik balasan dengan ragu.

Hana: Aku juga kurang tahu, sebenernya. Tapi setahuku, Rafen itu orangnya bener-bener ceria, periang. Cuman kalau misalkan lagi bad mood atau nggak mood sama temen atau sama keadaan, dia bisa gitu.

Setelah mengirim pesan, Hana menghela napas. Ia kembali menatap chat yang masih terus berjalan, tapi pikirannya terasa semakin penuh.

Di luar, ibunya mulai memanggil untuk makan malam. Namun, Hana masih menatap layar, pikirannya berkecamuk. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Rafen? Kenapa dia seperti ini?

                             ✨✨✨

Hii guyss hehe gimana ceritanya?? Seruu gaa?? Yaa aku mulai nulis lagii and klo ada kesalahan kalimat silahkan di komentar 😽 bantu support aku lagii yaahhh thankyou guyss.... JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, AND SUPPORT YAAA
Tunggu kelanjutannya yahh
             

         💫HAPPY READING GUYS 💫
        






Part Of ClassTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon