E P I L O G

1.3K 59 5
                                    

Gunung Utara begitu jelas dari balkon istana. Seperti biasa, setiap hari akan menunggu burung salju terbang dengan membawa surat Sophia. Kata gadis itu, awalnya tubuh ia merasakan suhu panas dan dingin sekaligus, serta kaki lemas untuk berjalan. Namun setelah sebulan, gadis itu memberitahu sudah bisa berjalan, dan mengunjungi peti mati ibunya. Karena ia tinggal di reruntuhan kastil.

Burung salju datang, Lyle lekas berdiri seraya menghulurkan tangan.

Mari bertemu, aku menunggu Lyle di tebing.

Membuncah, kesenangan seolah mengapung dalam benak dan beterbangan di hati. Meskipun tidak memberitahu, itu artinya Sophia sudah semakin membaik. Senang bisa melihat Sophia, ia lekas masuk ke dalam guna menuruni tangga. Dalam sekilas, ia lupa bahwa dirinya bisa berteleportasi.

Begitu ingat, ia sudah lari jauh dan berada di antara hutan. Akhirnya, lelaki itu memarahi diri sendiri karena mungkin akan membuat sang istri yang sakit itu menanti. "Bodoh, bodoh, bodoh!"

"Kenapa diriku bisa sepelupa ini?"

"Apa aku mulai menua?"

Melakukan hal bodoh lagi, bukannya lekas membaca mantra, dirinya malah berlari seraya memaki. "Sial!"

"Perrumpens tempore!" seru ia akhirnya, sedikit geram dan bercampur antusias.

Menghembuskan napas dengan terengah-engah, ia membungkuk dengan bertumpu pada lutut. Matanya menegak ke atas, melihat Sophia yang duduk di sana seraya memejam. Benar saja, ia sudah membuat istrinya menunggu lama hingga tertidur.

Di sana pasti batas pagar, pikir Lyle. Ia pun mendaki tebing tersebut, namun saat semakin dekat dengan Sophia, ia terpeleset hingga tanpa sadar mengaduh. Tanpa ia kira, pergerakkan kaki berhenti tiba-tiba. Ia menegakkan kepala, melihat Sophia bangun akibat keributan kecil yang ia buat. "Kamu yang melakukannya?"

Gadis itu mengangguk. Perlahan mengeser ke bawah, Sophia memilih bersandar di pohon pinus berikutnya. Sedangkan Lyle bersandar ke pohon yang berdekatan dengan Sophia.

"Bukankah ini akan menyulitkanmu? Meskipun Gunung Utara tempat yang cocok, aku takut kamu terjatuh. Kakimu pasti masih lemas untuk berjalan. Jangan memaksa Sophia, aku lebih senang kamu dalam keadaan sehat meskipun kita tidak bertemu." Lelaki itu memandang teduh ke arah Sophia yang menyandarkan kepala ke pohon. Gadis itu tersenyum tipis dengan mata sayunya.

"Aku rindu. Burung salju hanya membawa tulisanmu, tidak dengan gambaran dirimu," sahutnya yang lirih.

Suara jernih seperti air mengalir milik Sophia, kini terdengar halus. "Suaramu saja masih seperti itu, jangan memaksakan, Sophia. Kesehatan istriku adalah yang paling penting."

"Ayah mengirim pesan lewat Achille. Karena kamu telah berbohong akan pulang ke kediaman ayahmu, aku ditugaskan mengawasi. Istriku ternyata sekarang tidak menurut," sambungnya.

"Aku masih penurut, Lyle!" Samar, gadis itu mengerutkan dahi dengan nada merajuk tertahan.

Ia terkekeh, matanya tidak pernah berpaling dari Sophia. "Banyak yang menunggu kepulangan kita. Setiap pekan pasti ada yang berkunjung ke manor untuk menanyakan kepulangan kita. Entah kenapa."

"Tunggu, Achille pernah kemari? Bagaimana dengan kabarnya saat ini?"

"Dia baik-baik saja. Kita akan tahu perubahannya setelah pulang ke Cygnus. Jadi, lekaslah sembuh, istriku."

"Kenapa Lyle tidak pulang saja ke Cygnus? Kita juga bisa berjumpa dari arah sana."

Wajar Sophia menanyakan itu, Lyle telah sembuh. Tidak ada setitik pun kutukan yang menempel. "Meskipun tidak sekuatmu terhadap salju, bukan bearti suamimu tidak bisa bertahan hidup di sini."

Gadis itu mengambil sesuatu di sampingnya. Sebuah keranjang anyaman yang disertai tutup. Membuka tutup tersebut, ia mengambil potongan pai dan diserahkan pada Lyle. Tentu itu tidak sampai. "Sudah lama sekali tidak makan atau teh bersama Lyle. Ayah membawakan pai apel, tapi untuk membawa teh kemari, aku kesulitan."

Mengangkat punggung, ia menumpu kedua lutut di salju dan meraih pai dari tangan Sophia. Biasanya makan menggunakan sendok, kali ini ia akan memakai tangan. Tidak masalah selagi itu untuk memenuhi keinginan Sophia, meski tidak sesuai tata krama. "Jangan memaksa, Sophia. Kamu harus sembuh terlebih dahulu."

Hendak menyuap, ia teringat akan surat Sophia. "Kamu pernah berkata lewat surat, Gunung Utara sangat nyaman, lalu ingin tinggal di Gunung Utara."

"Lyle tidak akan mungkin bisa tinggal di sini," balasnya yang terdengar manis oleh Lyle.

Menggigit pai hampir bersamaan, Lyle tidak lekas mengunyahnya. Ia memperhatikan Sophia yang makan dengan lambat. Tersenyum tipis, ia kemudian mengunyah painya. 'Dia menyukai apel.'

Hingga malam, Sophia dan Lyle tetap duduk di sana seraya memandang langit yang memayungi tanah Berly. Cahaya hijau muda bercampur sedikit warna kuning dan merah, menari-nari di langit Berly. Sangat cantik dan mengagumkan, seperti cahaya sihir.

"Dan di Berly memiliki panorama langit seperti ini," ujar Lyle penuh kekagumanan. Dia senang bisa menikmati panorama itu bersama Sophia, gadis yang sangat dicintainya.

 Dia senang bisa menikmati panorama itu bersama Sophia, gadis yang sangat dicintainya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

🌿🌿🌿

Mereka lagi liat aurora 💗

The Cursed Duke's MoonWhere stories live. Discover now