65. Atarah, we meet.

272 47 1
                                    

Malam itu, ia menyebarkan kilauan perak ke seluruh jalan yang akan dilalui, sehingga yakin dirinya bisa keluar tanpa dicegah. Dewi Selene memang tidak menjelaskan apa khasiatnya, namun Sophia mengerti, itu cairan yang bermanfaat untuk memudahkan dirinya beraksi ataupun untuk situasi tertentu.

Keputusan ini diambil secara singkat dan spontan, sedikit gila dengan menggunakan diri sendiri sebagai umpan. Ia tidak peduli, selagi bisa bertemu dengan orang yang telah membunuh ibunya.

Dan dari cerita sang suami, pembunuh itu pula yang telah membakar Grand Duchess. Sialnya, kala itu kecerobohan benar-benar dilakukan D'Lupus. Menormalkan tubuh dari luka bakar tidak akan bisa menjadi bukti, terlebih bila begitu saja menuduhkan kematian kepada anak kecil. Itu terdengar sangat konyol dan naif.

Tidak telalu berharap akan secepat ini ditangkap, dia sedikit terkejut karena begitu bangun berada di tempat yang berisi rintihan. Entah karena kelaparan atau kedinginan. Sophia prihatin akan apa yang sampai ke indra pendengar, ia kecewa dirinya tidak bisa memberi kehangatan. "Aku bangun terlalu pagi," monolognya.

"Semuanya, bangun! Kita harus besiap-siap sebelum Putri datang."

"Tuan Putri akan datang juga?"

"Perempuan yang dicari sudah kita dapatkan. Rambut perak, bukan?"

Sophia menarik udara yang terendus seraya memejam, sedikit pahit dan sepat. Aroma itu menguar dari arah luar, ia terka berasal dari sekelompok orang yang menjadi alat penculikan

Antara sadar maupun tidak sadar, orang-orang itu melakukan ini semua seolah dikendalikan sesuatu. Mereka pasti tidak ingat apa yang diperbuat setelah kembali ke rumah. Wajar, mereka tidak tahu mengenai ke mana hilangnya anggota keluarga selain menyalahkan sosok dalam mitologi rakyat.

Mendengar pintu terbentur keras, Sophia menoleh cepat. Begitu pun perempuan lain, sontak terbangun dari tidur. Seiring dengan itu, tubuh tegap masuk dengan membawa cerutu dan duduk di hadapan dirinya.

"Ternyata Anda sudah sadar, Duchess Muda," sapanya.

Dengan wajah setenang rembulan, Sophia melempar tanya, "Bagaimana aku bisa ada di sini? Tempat apa dan di mana ini?" Ingatan terakhir, dia masuk ke jalan tikus karena sekelebat melihat seseorang menarik anak kecil seperti penculikan. Denyutan dari kepala bagian belakang menjadi bukti kemungkinan terkena pukulan.

Pria itu menyipitkan mata, sarat akan rasa tidak percaya pada sesuatu yang dilihat. "Mata Anda sangat indah dan langka, selama ini belum pernah ada. Sepertinya saya akan terkenal hanya dengan memiliki bola mata itu." Dia mendamba, dan hanya ditimpal senyuman tipis penuh arti dari Sophia.

"Menjauh dari nonaku, sialan!"

Sophia tersentak dengan mata yang membulat spontan begitu mendengar suara yang sudah ia hapal. Menelusur sekitar di antara belasan perempuan, di sudut lebih jauh darinya, Julia terlihat kumuh dengan rambut yang berantakan. Hatinya kala ini terasa diiris dan memanas, ada sesuatu yang ingin meledak dari dalam sana.

Merasa tertantang, pria itu menyesap cerutu dan menghembuskan asapnya di hadapan Sophia. Membuang cerutu tersebut, dia akhirnya menggenggam leher Duchess seraya memberi tekanan.

"Beraninya kau menyentuh nonaku, Keparat!" Suara Julia yang melemah namun sarat akan emosi itu, disahut dengan senyum licik tanpa memalingkan pandangan dari Sophia.

Tak peduli, Sophia justru memikirkan cara mengeluarkan Julia dari tempat kotor ini. Dalam leher yang masih digenggam, ia menggerakkan tangan ingin lepas dari ikatan.

"Anda butuh pisau untuk membuka?" Pria itu menerka dengan terkaan yang benar. Salah satu tangannya mengarah ke pinggang dan menarik belati. "Bagaimana dengan ini?"

The Cursed Duke's MoonWhere stories live. Discover now