80. War is Over

3.5K 431 205
                                    

Siap????
.
.
.

Dante, Kalya, dan Jerry, ketiganya duduk di bangku panjang di sebuah lorong rumah sakit. Kalya dan Dante duduk berdampingan, sementara Jerry duduk di paling ujung, memberi jarak antara dirinya dan Kalya. Suasana lorong yang sepi dan ketiganya belum ada yang membuka suara selama hampir sepuluh menit, membuat Jerry bertanya-tanya, apakah keberadaannya di sini mengganggu Kalya dan Dante. Tapi tiba-tiba saja Dante berdiri, dia berpindah ke hadapan Jerry, mengulurkan tangannya ke Jerry sambil menyunggingkan senyum. “Gue Dante.”

Jerry menatap sejenak tangan itu sebelum akhirnya membalasnya. “Jerry.”

Dante mengangguk. “Gue tau banyak kok tentang lo. Kita juga pernah ketemu.” Jerry mengernyitkan dahi. Seingatnya dia tidak pernah bertemu dengan Dante, ini kali pertamanya melihat sosok suami Kalya. “Di KBRI, lo nabrak gue dan numpahin kopi ke baju gue. Inget?”

“Ah, iya. Tapi gue gak terlalu merhatiin muka orang yang gue tabrak waktu itu. Maaf, gue lupa janji gue yang mau ganti rugi karena gue terlalu terburu-buru.” Jerry melihat Kalya seakan memberitahu alasannya terburu-buru hingga menabrak orang karena mencari keberadaan Kalya kala itu. “Sekarang kita ketemu lagi, gue baru bisa ganti rugi.”

“Gak usah, santai aja.” Dante beralih pada Kalya. “Kamu mau aku di sini atau–”

“Sini aja, Mas.” Kalya menyela. Dia tak ingin Dante meninggalkannya hanya berdua dengan Jerry. Dante mengangguk paham, dia duduk kembali di samping Kalya, menggenggam tangan wanita itu, meyakinkan Kalya bahwa Dante tak akan meninggalkannya dan selalu berada di sisi sang istri. Jantung Kalya berdegup cepat dan dirinya memiliki sedikit kekhawatiran karena berada dekat dengan Jerry setelah sekian tahun, meski saat tindakan tadi Jerry berada di ruang operasi, tapi saat itu Kalya tidak sepenuhnya sadar. Sekarang, Kalya sepenuhnya sadar duduk dekat dengan Jerry. Rasanya aneh bertemu kembali dengan lelaki yang sempat menjadi tunangannya, lelaki yang pernah Kalya bangga-banggakan dalam hidupnya, lelaki yang Kalya kira menempatkan dirinya sebagai wanita istimewa seperti Kalya menempatkan Jerry di hidupnya dulu, meski pada akhirnya Kalya tahu dirinya tidak seistimewa itu untuk Jerry, mantan kekasihnya. Kalya ingin membuka suara, tapi lidahnya kelu. Namun, semakin lembut usapan tangan Dante ke punggung tangannya, keberanian Kalya menatap Jerry semakin besar. “Makasih udah nemenin aku di ruang operasi tadi.”

“Sama-sama. Selamat buat kelahiran anak-anak kamu dan Dante. Kalau gak salah denger tadi, nama mereka Kafa sama Kafi, ya?”

Kalya mengangguk. Tiap kali membicarakan kedua putranya, senyum wanita itu terukir. “Mas Dante yang buat namanya.”

Jerry ikut tersenyum, menutup luka yang dibuatnya sendiri. Keadaan kembali hening. Kepala Jerry tertunduk, menatap cincin tunangannya dan Kalya dulu yang sampai saat ini masih melingkar di jari manisnya. Jerry tak pernah melepas cincin tersebut kecuali sedang melakukan pekerjaannya. Tapi untuk menghormati Kalya yang kini sudah bersuami, Jerry perlahan melepaskan cincin itu dan menyembunyikannya di dalam genggaman. “Boleh aku tau sejak kapan kamu dan Dante menikah?” Jerry memberanikan bertanya meski jawabannya pasti akan menyakitinya.

“Satu tahun yang lalu. Tapi kita kenal sejak di hari penyelenggaraan pameran di KBRI Tokyo waktu itu. Mas Dante datang sebagai pengunjung dan aku gak tau kalau ternyata hari itu kamu datang juga.”

“Iya, aku datang. Aku berniat menemui kamu. Tapi sebelum itu terjadi, ada seseorang yang nyadarin aku kalau kehadiran aku di sana cuma sebagai penambah luka di hati kamu. Aku yang gak mau itu terjadi lagi akhirnya milih pergi dan berharap kamu bisa menemukan kebahagiaan kamu di sana, dan kayaknya Tuhan ngabulin harapan aku.”

“Bukan kayaknya, tapi emang Tuhan ngabulin harapan kamu dan harapan aku yang pingin aku hidup bahagia. Aku bahagia sekarang Mas, benar-benar bahagia. Walau dalam proses mencapainya aku butuh waktu sampai kurang lebih enam tahun sampai akhirnya aku yakin kalau kebahagiaan aku adalah Mas Dante.” Kalya menatap sang suami penuh cinta, pun Dante yang membalas tatapan serupa kepada Kalya. Tak mudah bagi keduanya berada sampai di titik ini, menjadi sepasang suami istri. Ketika sesi saling tatap itu berakhir, Kalya kembali melihat Jerry. Namun tangannya masih digenggam Dante. “Setelah hubungan kita berakhir, aku sadar banyak perubahan dalam diri aku yang terjadi. Aku berubah jadi sosok yang sulit percaya ke orang lain, terutama laki-laki dan itu berlangsung selama bertahun-tahun. Aku jadi orang yang menutup diri dan gak mau terlibat dalam hubungan yang namanya pacaran atau semacamnya karena dalam hati aku percaya gak ada seorang pun yang bisa mencintai aku sungguh-sungguh. Tapi suatu hari, aku ketemu Mas Dante lagi setelah pameran di KBRI hari itu. Ternyata Mas Dante dan aku kuliah di tempat yang sama, Mas Dante lagi ngejar S3 nya, sementara aku S2. Singkat cerita, aku dan Mas Dante berteman baik, obrolan kita nyambung, aku kagum sama sosok dia yang pinter dan bekerja keras. Tapi yaudah, sebatas kagum. Tapi ternyata, Mas Dante nyimpan rasa ke aku. Awalnya aku gak tau, Mas Dante pun gak bilang apa-apa. Tapi dari cara dia memperlakukan aku, lama-kelamaan aku tau kalau ada sesuatu yang Mas Dante simpan. Aku beraniin diri nanya ke dia dengan niat, kalau semisal Mas Dante benar menyimpan rasa ke aku, aku bakal suruh dia lupain rasa itu karena aku masih sakit, aku belum benar-benar pulih dan ya, Mas Dante bilang dia punya rasa ke aku. Tanpa ragu, aku suruh Mas Dante mundur karena bagi aku saat itu gak mungkin memulai hubungan baru lagi dengan kepercayaan aku yang udah rusak. Tapi Mas Dante gak semudah itu mundur, tapi dia juga gak memaksa aku buat nerima dia.”

BAD JERRYWhere stories live. Discover now