62. Jerry dan Kedua Putrinya

1.9K 441 107
                                    

Ciaaaaaaangggg!!!!!!!!
.
.
.

Di meja makan, gadis bernama lengkap Akshaya Kana Sabita itu menatap sarapan yang sudah disajikan asisten rumah tangga, kemudian Aya mengalihkan pandangannya pada dua kursi yang biasa diduduki papa dan adiknya apabila makan bersama. Aya menghela napas panjang, sudah dua hari ini dia selalu makan sendiri, rasanya sangat sepi. Jerry dan Ansha mengurung diri di kamar masing-masing. Aya tahu jelas mengapa papa dan adiknya melakukan hal tersebut. Pembatalan pernikahan Jerry dan Kalya menjadi alasannya.

Alih-alih langsung makan, Aya mengambilkan sepiring nasi dan lauk untuk dia berikan pada Jerry di kamar. Gadis itu mengetuk pintu kamar sang papa lebih dulu, meski Jerry belum memberikan izin, tapi karena pintunya tak dikunci, Aya masuk ke dalam. Hal pertama yang dilihatnya, Jerry yang berbaring di kasur memunggungi pintu. Setengah badan lelaki itu ditutup selimut. Kamar Jerry juga nampak sangat gelap, gordennya tertutup rapat, padahal matahari di luar mulai naik. Aya menaruh piring yang dibawanya ke atas nakas, kemudian dia bergerak membuka gorden. “Jangan dibuka.” Suara berat Jerry terdengar. Aya tak menggubris, dia tetap membuka gordennya, membuat sinar matahari masuk dan Jerry meringis karenanya. “Papa udah bilang, jangan dibuka.”

“Papa bukan vampire.” Selesai dengan gorden, Aya memunguti pakaian-pakaian Jerry yang berantakan di lantai. Aya tahu, Papanya dalam situasi kacau, kondisinya tak baik, Jerry tak biasa memberantaki kamarnya. Lagi-lagi Aya menghela napas menemukan botol minuman beralkohol di pojok kamar Jerry, dia tak tahu kapan Jerry membeli minuman keras seperti ini. Aya memasukkan botol-botol tersebut ke plastik dan membuangnya ke tempat sampah. “Sarapan Pa, Mbok udah masakin nasi goreng sama ayam suwir.”

Jerry menarik selimutnya semakin tinggi, menutupi seluruh bagian tubuhnya. “Kamu aja sama Adek.”

Aya berdecak. Sejak dua hari lalu, jawaban Papanya selalu sama. “Aku gak pernah sarapan sama Ansha sejak dua hari lalu, dia ngurung diri di kamar, sama kayak Papa.” Jerry tak merespon. Aya menggelengkan kepala lelah melihat tingkah papanya. “Nasinya aku taruh di nakas, harus Papa makan. Aku mau ke kamar Adek dulu.” Aya berlalu pergi, meninggalkan Jerry yang menitikkan air mata di balik selimut. Jangankan untuk makan, Jerry bahkan tak memiliki napsu untuk minum air putih. Dalam dua hari ini, dia lebih banyak mengkonsumsi minuman keras dan tak berminat melakukan apa-apa. Di pikiran dan hatinya hanya ada Kalya. Hari-harinya diisi penyesalan dan rasa bersalah kepada wanita yang hampir menjadi istrinya, wanita yang Jerry cintai tapi juga disakiti olehnya.

Masih tenggelam dalam renungannya, ponsel Jerry yang berada di samping piring berdering. Jerry tak ingin mengangkatnya, dia membiarkannya. Namun telepon itu masuk berulang kali, memaksa Jerry bergerak mengangkatnya. “Ya.” Jerry kehilangan semangat berbicara.

Pak Jerry, ini saya Monic. Tadi Bu Kalya menghubungi saya, katanya pernikahan Bu Kalya dan Pak Jerry dibatalkan.

Jerry menghela napas. Dia mengusap wajahnya kasar. “Iya, itu bener.”

Lalu bagaimana dengan perjanjian kerja sama kita Pak? Pihak kami sudah membayar ke beberapa vendor, kalau ada pembatalan sepihak seperti ini, pihak kami berhak meminta ganti rugi.

“Pernikahannya yang batal, saya gak minta kamu batalin acaranya.”

Maksudnya bagaimana Pak?

“Kerja sama kita tetap lanjut. Kamu teruskan kerja seperti sebelumnya, gaun pernikahan, gedung pernikahan, kamu siapkan sesuai rencana awal, saya akan tetap bayar penuh. Tapi untuk undangan, jangan kamu sebar, kamu kirim aja semuanya ke rumah saya.” Setelahnya, Jerry menutup panggilan. Dia beralih pada cincin tunangannya yang melingkar di jari manisnya. Tak ada niat sedikitpun Jerry melepaskan cincinnya meski Kalya sudah sangat tegas memutuskan hubungan dengannya. Jerry akan terus memakainya sambil membawa harapan Kalya akan mengampuninya, walau Jerry tahu kemungkinan tersebut sangat-sangat kecil. Jerry mencium cincin emas rose gold itu. “Maafin aku, Kalya. Aku mencintai kamu.”

Batalnya pernikahan, tak hanya membuat Jerry merana sampai berhari-hari, namun si bungsu Ansha turut merasakan yang sama. Gadis itu tidak memperdulikan Aya yang masuk ke kamarnya membawakan sarapan, Ansha tetap melanjutkan kegiatannya, melihat-lihat fotonya bersama Kalya di galeri ponsel, seakan membangkitkan kenangan. Ansha meneteskan air matanya melihat fotonya dan Kalya ketika keduanya sleep over di rumah Kalya beberapa waktu lalu. Malam itu, keduanya banyak bercerita, membuat Ansha semakin nyaman dan sayang pada Kalya. Dia merasa menemukan sosok ibu kembali setelah sepuluh tahun lamanya ditinggal oleh Tari. “Makan Sha.” Aya berujar.

Ansha tak menggubris.

“Dek.”

Aya menghela napasnya. “Gue suapin ya?” Aya menyodorkan sesendok nasi goreng, tapi Ansha menghindar. “Nanti lo sakit perut. Semalam juga lo gak makan.”

“Mbak.” Ansha menatap Aya sendu. Tak tega Aya melihat kondisi adiknya yang seperti ini. Ansha yang biasa ceria, tidak bisa diam, selalu berisik, beberapa hari ini berubah menjadi Ansha pemurung.

“Iya, makan ya?”

“Lo seneng Papa sama Mama Kalya udahan?”

“Kok lo nanya gitu?”

“Soalnya dari awal lo gak keliatan suka sama Mama Kalya.”

“Lo salah Sha. Gue bukannya gak suka sama Mbak Kalya. Gue juga sedih Papa sama Mbak Kalya batal nikah.” Aya serius dengan ucapannya, dia sedih dan menyayangkan pembatalan pernikahan tersebut. Namun Aya tahu, keputusan itu keputusan terbaik yang diambil Kalya. Aya pun tak mau Kalya menderita dengan memaksakan hubungannya dan Jerry. “Lo sayang sama Mbak Kalya, 'kan?”

Ansha mengangguk.

“Kalau gitu kita hargain keputusan dia. Mbak Kalya tau keputusan yang baik buat dirinya sendiri.”

“Tapi gue udah sayang banget ke Mama Kalya. Jujur Mbak, gue udah lupa rasanya disayang sama Mama Tari, dia juga meninggal waktu gue masih enam tahun, masih kecil. Tapi begitu kenal sama Mama Kalya, gue bisa ngerasain lagi gimana rasanya kasih sayang ibu. Boleh gak sih gue egois? Gue tetep pingin Mama Kalya sama Papa.”

“Belum tentu hasilnya baik Sha kalau mereka tetep bareng.” Bibir Ansha bergetar, tangisnya semakin deras ditampar ucapan sang kakak. Aya lantas membawa Ansha ke dalam pelukannya, mengusap punggung adiknya yang bergetar. “Gue tau, banyak yang terluka di sini, termasuk lo, tapi lo jangan lupa, Mbak Kalya korban utamanya. Dia yang paling sakit.”

Beberapa menit Aya gunakan waktunya untuk menenangkan sang adik. Lalu dia juga menyuapi Ansha, karena itu satu-satunya cara agar Ansha mau makan. “Udah Mbak.” Ansha mendorong piringnya pelan.

“Dikit lagi.”

Ansha menggeleng. “Jelya di mana?”

“Tadi gue liat di sofa.”

Ansha tiba-tiba turun dari ranjangnya.

“Mau ke mana?”

“Peluk Jelya, gue kangen Mama Kalya. Kemungkinan kecil, 'kan Mbak gue bisa peluk dan manja-manjaan ke Mama Kalya lagi?”




Patah hati ya Sha?🥺

BAD JERRYМесто, где живут истории. Откройте их для себя