30. Sendu

2K 496 64
                                    

Minta double update? Oke! Siapa takut?!?!
.
.
.

“Mas, kok diaduk-aduk doang sih makanannya?”

Pertanyaan Kalya menyadarkan Jerry dari lamunan singkatnya. Lelaki berkaos polo hitam itu menghela napasnya dalam. Dia tidak punya napsu makan sejak tahu kondisi putri sulungnya yang menurut Jerry cukup mengkhawatirkan. Tapi malam ini Jerry justru mengajak Kalya ke sebuah tempat makan khas Sunda. Keduanya duduk berhadapan di satu saung yang tidak terlalu ramai. Namun Jerry belum menyentuh makanannya sama sekali ketika Kalya sudah hampir menghabiskan nasi cikurnya. Kalya tahu ada yang tak beres dengan Jerry. Wanita berambut pirang itu menebak beberapa alasan yang mungkin menjadikan Jerry tampak berbeda hari ini, alasan pertama, Jerry sudah mengetahui perihal Aya, alasan lainnya mungkin lelaki itu sedang lelah saja karena pekerjaan.

Kalya menaruh sendok yang dipegangnya ke piring, berfokus pada Jerry. “Mau cerita?”

“Aya.”

Meski Jerry hanya menyebut namanya, Kalya tahu arah pembicaraan sang kekasih.

“Jadi Aya udah cerita ke kamu?”

Sebelah alis Jerry terangkat. “Kamu tau?”

Kalya mengangguk. “Sejak olimpiade hari itu.”

“Jadi semua orang udah tau kecuali aku?” Nada bicara Jerry berubah kesal.

“Gak, cuma Aya dan aku yang tau.”

“Kenapa kamu gak bilang dari awal sih Kal? Kenapa ikut-ikutan Aya nutupin ini semua dari aku?”

“Iya aku salah Mas, maafin aku. Aku gak bermaksud nutupin dari kamu, selama rentang waktu tersebut aku berusaha ngeyakinin Aya dan akhirnya Aya mau kasih tau kamu sendiri soal kondisinya.”

“Kamu gak kasian apa liat aku gak tau apa-apa soal kondisi anak aku sendiri?”

“Mas aku udah jelasin. Aku gak mau sembunyiin hal sebesar ini dari kamu, tapi di sisi lain Aya perlu waktu untuk terbuka ke kamu. Gak gampang buat dia ambil keputusan ini. Kamu tanya aku kasian apa enggak ke kamu, aku kasian, tepatnya kasian ke diri sendiri yang gak bisa berbuat banyak dalam posisi ini.”

Jerry mengusap wajahnya gusar. Pikirannya kacau. “Aku gagal jadi Papa yang baik buat anak-anakku.”

“Aku mencoba memahami perasaan kamu. Tapi kamu gak boleh terlalu larut sama rasa bersalah itu. Sekarang, fokus utama kita Aya Mas.”

“Iya Kal. Aku udah sempet bawa Aya ke RS buat konsultasi masalah ini. Dia udah dapat penanganan, ada jadwal check up juga. Cuma aku masih khawatir.” Jerry diam sejenak. “Aya kayak gini pasti ada hubungannya sama trauma masa lalu dia. Aku belum cerita ke kamu, Aya ada di mobil sama Tari di hari kecelakaan itu.”

“Jadi kecelakaan itu bukan cuma menimpa Mbak Tari?”

“Iya. Aku boleh cerita?”

Kalya mengangguk. Dia penasaran bagaimana Aya bisa terlibat.

“Awalnya Aya dan Tari mau jemput Ansha yang ada di rumah Ibu. Sebelumnya Ansha nginap di rumah Ibu karena dia kangen sama oma katanya, Tari dan Aya gak ikut nginap karena mereka sama-sama susah tidur kalau bermalam di rumah orang lain, sementara aku ada tugas di luar kota. Besoknya, Tari berangkat jemput Ansha, tapi di tengah jalan mobilnya ditabrak. Tari meninggal di tempat, dan Aya di samping Mamanya masih sadar dengan kondisi perut tertusuk kaca. Aya menyaksikan semua kecelakaan hari itu, dia saksi sekaligus korban. Setelah kecelakaan hari itu, aku fokus sama pemulihan fisik Aya, baru aku minta psikolog buat dampingi Aya karena dia trauma gara-gara kecelakaan itu. Aya jadi anak pendiam, tapi beberapa kali dia juga histeris tiba-tiba. Tapi setelah beberapa tahun pemulihan, kondisi Aya membaik. Dia udah mau ngomong sama orang-orang sekitar dan berangsur-angsur membaik. Bahkan aku yakin Aya sembuh total karena di sekolah dia ikut banyak organisasi juga aktif. Tapi ternyata, masih ada luka yang tertinggal.”

BAD JERRYWhere stories live. Discover now