56. Kereta

2.2K 498 523
                                    

Asem tuh suka tau bacain komen kalian. Seneng kalau dapet banyak masukan. Terus asem juga menerima yang bilang alurnya monoton karna beberapa chapter di atas Kalya keliatan ga ada pergerakan sama sekali. Isokee, asem sangat menghargai pendapat pendapat itu. Alurnya terkesan lama pun karna sebenernya ada beberapa part yang harusnya jadi 1 asem bagi jadi 2 karna terlalu panjang.

Terus untuk yang minta Kalya ngelakuin perlawanan, tenang, akan ada saatnya. Ya sekitar dua atau tiga chapter lagi akan ketauan kenapa kalau kalya diem seakan nerima nerima aja. Ditunggu ya!!! Dan untuk yang ngerasa bosen, gapapa kok berhenti baca hehe

Lopyuuuuu guys!! Terus dukung asem! Komen apapun asem terima, asem jadi masukan selagi itu berhubungan dengan cerita hehe
.
.
.

“Aku mau pulang sendiri, naik kereta.” Kalya berujar sembari memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Dia langsung bersiap-siap pulang begitu sesi foto di hari kedua selesai.

Mendengar calon istrinya berkata demikian, Jerry yang baru keluar dari kamar mandi, menghampiri Kalya. “Aku udah pesen tiket pesawat, Sayang.” Kalya tak merespon. Dia memakai sepatunya, lalu memutar gagang pintu, akan keluar jika Jerry tak lebih dulu menahan tangannya. Kalya menatap tangannya sendiri, membuat Jerry paham dan akhirnya melepaskannya. “Jangan pulang sendiri ya Kal, aku khawatir. Pakai kereta juga sampainya jauh lebih lama, kamu pasti capek. Dari kemarin waktu kita padat banget, kamu kurang istirahat. Bentar lagi kita ke bandara kok, sabar ya. Aku siap-siap dulu.”

“Gak, aku mau pulang sendiri.”

Jerry menghela napas. “Kamu bilang orang tua kamu gak boleh tau permasalahan kita, tapi kalau kamu pulang sendiri kayak gini dan aku sampai duluan, aku harus bilang apa ke Mama Papa?” Kalya terdiam, memikirkan ucapan Jerry. “Aku udah nurutin permintaan kamu, kita selesain prewed dua hari, aku juga gak pergi ke makam Tari.” Benar, Jerry memilih tinggal bersama Kalya ketika dia mendapat kabar yang sebetulnya membuat hatinya tak tenang dan sangat ingin pergi ke makam mendiang istrinya. Jerry tak tahu, apakah makam Tari benar-benar dipindah atau tidak. Namun jika dia memaksakan pergi, hubungannya dan Kalya mungkin akan selesai, sebab dilihat dari cara Kalya berbicara kemarin, dia sungguh-sungguh. Jerry merasa berada di posisi yang serba salah, dia tak mau makam Tari dipindah, dan di sisi lain Jerry juga tak ingin dan tak bisa membayangkan kalau dirinya ditinggal Kalya.

“Permintaan kamu bilang? Aku gak minta, aku cuma bilang kalau kamu pergi kita udahan, dan kamu sendiri yang milih tinggal. Kalau kamu masih mau pergi ke makam Tari sana, aku gak larang.”

“Tapi ucapan kamu bikin aku gak bisa ke mana-mana, aku merasa di posisi serba salah.”

“Dasar, gak punya pendirian.” Kalya menghardik. “Harusnya gak pergi ke makam Tari itu kewajiban kamu sebagai pasangan aku. Tapi kayaknya kamu gak sadar akan hal itu.”

“Aku juga lagi berusaha Kal untuk lupain Tari.”

“Udah, gak usah bahas Tari. Keputusan aku bulat, aku mau pulang sendiri.” Kalya berlalu pergi.

“Kal! Sayang!” Jerry mendesah frustasi ketika panggilannya tak dihiraukan.

Kalya duduk di kursi samping rel kereta, menunggu kedatangan keretanya. Kalya memutuskan pulang sendiri. Dia sengaja melakukannya agar bisa jauh sementara dari calon suaminya, alasan lainnya dia menggunakan kereta agar Kalya lebih banyak memiliki waktu sendiri untuk berpikir dan menenangkan diri. Kalya berdiri ketika mendengar suara kereta semakin dekat. Dia berjalan ke arah peron dengan langkah berat. Pandangan matanya menatap lurus ke depan, namun penuh kehampaan. “Mbak!” Seorang satpam menarik tubuh Kalya kuat. Seketika itu, Kalya tersadar. Matanya terbelalak melihat dirinya hampir jatuh ke rel dan nyaris tertabrak kereta jika telat ditarik sepersekian detik. Beberapa orang mendatangi Kalya, memastikan keadaan wanita berambut pirang tersebut. “Mbak gak apa-apa? Mbak melamun ya?”

BAD JERRYWhere stories live. Discover now