🍂Lima Puluh Delapan🍂

7.5K 563 9
                                    

Semua urusanku di Jakarta sepertinya sudah selesai. Aku sudah mengundurkan diri dari sekolah tempat aku mengajar. Rosa sudah memberikan surat pengunduran diri untuk sekolahnya. Kami sudah mengambil seluruh barang-barangku yang tersimpan di kota ini dan sudah dikirim ke kampung. Bahkan kami juga sudah mengembalikan kunci rumah yang kami sewa.

Semuanya telah aku selesaikan.

Kecuali perceraianku dengan Kak Gandra.

Aku tahu perceraian kami lama, makanya aku memilih untuk tinggal di kampungku lebih dahulu. Nanti jika ada panggilan dari pengadilan barulah aku datang ke Jakarta.

Beberapa hari yang lalu aku sudah mendaftarkan perceraianku ke pengadilan agama. Surat gugatan cerai sudah aku dapatkan. Aku juga sudah menandatangani surat itu. Hanya Kak Gandra yang belum menandatanganinya. 

Niatnya hari ini, sebelum aku di pergi ke kampung. Aku ingin menyempatkan untuk datang ke rumah Kak Gandra untuk menitipkan surat ini ke satpam komplek. Agar surat ini lebih cepat sampai ke tangan Kak Gandra dan perceraian kami bisa segera diproses. 

"Ayo, Ros. Masuk duluan ke mobil Bude," ucapku kepada Rosa. Gadis itu mengangguk kemudian dia lebih dahulu masuk ke dalam mobil.

Aku bersiap untuk masuk ke dalam mobil itu, tetapi ada sebuah tangan yang membuat aku kembali menoleh ke belakang. Kak Gandra di sana, berdiri dengan tas gunung di punggungnya.

Kebiasaan, kalau ada masalah, dia pasti lari ke gunung.

Tapi, biarkanlah.

Aku enggak peduli.

Kalau dia enggak bisa menyelesaikan permasalahan kami. Aku bisa ambil sikap untuk menyelesaikan semua ini yaitu dengan jalur perpisahan.

Dengan keadaan masih memakai tas gunung, Kak Gandra langsung menarikku ke dalam pelukannya. Tanpa kata, hanya deru napas yang terdengar di telingaku. Cukup lama, kami berada dalam posisi seperti ini sampai-sampai aku enggak enak dengan Bude, Pakde, dan Rosa yang menunggu di dalam mobil.

"Kakak, sudah," aku melepaskan pelukan itu sepihak, "ada yang mau dibicarakan?" tanyaku.

Dia terdiam, menatap kedua mataku lekat. Lama kami saling bertatapan sampai aku bisa melihat matanya berkaca-kaca. Aku juga jadi ikut sedih sehingga tanpa permisi air mata luruh mengenai pipiku.

Isak tangisku terdengar. Kak Gandra langsung mengelap sudut matanya sebelum dia mengelap air mata di pipiku. "Ini tangisan terakhir ya. Sehabis ini kamu harus bahagia," ucap pria itu yang malah membuat aku semakin menangis.

Apa ini adalah pertemuan terakhir kami menjadi seorang suami-istri?

Apa aku benar-benar harus kehilangan Kak Gandra?

Aku menarik napas panjang. Berusaha menenangkan dan meyakinkan diriku bahwa memang ini keputusan terbaik bagiku. Aku harus mengambil kembali kebahagiaanku dan hanya dengan perpisahan satu-satunya jalan.

Aku membuka tasku. Memberikan sebuah dokumen kepadanya. "Surat gugatan cerai. Tanda tangani ya Kak."

Pria itu terdiam kemudian mengambil dokumen dari tanganku. Melihat reaksinya yang seperti itu membuat aku lagi-lagi kecewa. Aku kecewa karena seolah dia sudah menyetujui perceraian kami.

Aku mencoba tegar untuk kesekian kalinya. Aku lagi-lagi menarik napas dan membenarkan posisi tasku. "Aku pamit ya. Tolong berikan berkas itu ke pengadilan jika Kakak sudah menandatanganinya," aku mencoba tersenyum kecil, walau sulit, "sampai bertemu di persidangan."

Dia mengangguk kemudian kembali menarikku ke dalam pelukannya. Pelukan terakhir kalinya sebelum kami benar-benar berpisah. "Hati-hati di jalan, Manda. Semoga kamu menemukan kebahagiaanmu."

Tapi bodohnya aku, aku masih berharap bahwa bahagiaku adalah Kak Gandra.

Namun, sebuah kenyataan lagi-lagi meyakinkanku bahwa aku enggak pernah mendapatkan itu.

"Terima kasih untuk semuanya, Alamanda. Terima kasih sudah memberikan semua yang kamu punya untuk saya. Terima kasih sudah menjadi istri yang berbakti. Terima kasih sudah mengurus saya dan Mine dengan begitu baik. Terima kasih sudah menjadi perempuan yang hebat dan kuat."

"Aku pergi ya," aku melepaskan pelukan itu, "selamat tinggal."

Aku berjalan menjauh. Di sepanjang perjalanan menuju ke mobil, aku terus menggigit bibirku berusaha menahan isak tangis yang ingin keluar.

Meskipun Kak Gandra lebih banyak melukaiku, tetapi aku enggak munafik bahwa aku juga mempunyai kenangan indah bersamanya.

Kenangan-kenangan indah itu terus berputar di kepalaku. Aku rasanya ingin menoleh ke belakang untuk melihat pria itu, tetapi keinginan itu aku tahan kuat-kuat.

Aku enggak boleh lagi menoleh ke belakang.

Sekarang aku harus menatap ke depan.

Menatap masa depan yang membahagiakan.

Bukan masa lalu yang menyakitkan.

Teruntuk yang mau baca cepat, aku udah publish satu buku full di Karyakarsa 

Pembelian juga dapat melalui WA (085810258853)

  Full ebook 

  Full ebook 

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Hanya dengan Rp46

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Hanya dengan Rp46.000 kalian bisa akses full e-booknya 

Tersedia juga ebook versi baca duluan 

Cara Pembelian:

1. Masuk ke aplikasi Karyakarsa bisa melalui web atau aplikasi.

2. Cari nama kreator (TheDarkNight_) dan cari judul karya (Part Ke-1 sampai Part Ke-61 (Ending) _ Mutualism Marriage _ TheDarkNight_)

3. Setelah ketemu, scroll ke bawah sampai menemukan harga jual karya tersebut. Harganya Rp46.000.

4. Ubah harga jika kamu ingin memberi apresiasi lebih.

Pilih metode pembayaran: GoPay, OVO, Shopeepay, Indomart, Alfamart, atau transfer bank.

5. Ikuti petunjuk pembayaran (lihat bagian-bagian yang menerangkan pembayaran dengan Gopay, OVO, Virtual Account BNI, dan Pembayaran QR).

6. Kembali ke laman KaryaKarsa dan ke karya tadi. Pastikan kamu sudah login, ya. Kalau transaksi sudah berhasil, Karya yang sebelumnya bertuliskan "terkunci" akan ganti jadi "terbuka".

Jika ada pertanyaan boleh chat admin aku 085810258853

Pembelian juga dapat melalui WA (085810258853)

Mutualism MarriageOnde histórias criam vida. Descubra agora