🍂Lima Puluh Tiga🍂

7.4K 557 30
                                    

Aku mengecup kedua pipi dan kening Mine. "Mami ke sekolah dulu ya, Mine," pamitku. Gadis kecil yang masih tertidur itu hanya bergumam tidak jelas. Aku memundurkan langkahku, melirik ke arah Kak Gandra yang juga masih tertidur.

Biarkan ajalah.

Aku enggak ada niat mau membangunkannya. Kalau dia bangun, juga enggak ada gunanya. Aku tetap pergi ke sekolah diantar oleh ojek langgananku, bukan diantar olehnya.

Aku mengambil tas lantas berjalan ke arah pintu, tetapi ada suara dehaman dari arah belakangku. "Enggak mau salim dulu?" suara Kak Gandra terdengar.

"Buat apa?" aku menoleh ke belakang, "kita kan mau pisah. Ga usah dibiasakan salim-salim begitu."

"Manda," suara Kak Gandra menggeram, "sini dulu," ucapnya sambil menepuk sisi sebelah sofanya dengan tidak sabar.

"Tadi aku lihat kakak tidur. Kok sekarang sudah bangun? Tidur aja lagi."

"Alamanda. Sini."

Aku mengentakkan kakiku lantas menuruti perintahnya. "Apa?" tanyaku.

"Tunggu di sini dulu sebentar. Saya mau cuci muka dan sikat gigi dulu. Habis itu antar kamu ke sekolah."

"Ngapain?" aku menggeleng, "ga usah. Sebentar lagi tukang ojek langganan aku datang."

Kak Gandra mengeluarkan dompetnya. Dia memberikan lima lembar uang berwarna merah muda. "Berikan ke dia. Terus bilang, mulai hari ini, dia enggak perlu antar jemput kamu lagi," ucapnya.

Aku mendengus sebal. "Terus nanti aku sama siapa? Ojek online suka lama. Kakak juga enggak mau antarkan aku kan."

"Mau."

"Apa? Mau apa?

"Antarkan kamu," dia bangun dari sofa, "jangan banyak bicara. Sudah. Tunggu dulu sebentar."

Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di dalam mobil. Dari sudut mataku, aku dapat melihat Kak Gandra melirik ke arahku beberapa kali. Entah karena apa. Aku jadi salah tingkah, takut penampilanku aneh, tapi kayanya biasa aja. Aku pakai seragam guru yang biasa aku pakai, aku juga berdandan sewajarnya.

"Manda," panggilnya.

"Apa sih? Jangan ngajak bertengkar Kak."

"Enggak ada yang ngajak bertengkar," Kak Gandra memberhentikan mobilnya saat lampu merah. Tiba-tiba tangan pria itu mengusap bibirku pelan, "kalau saya minta cium, boleh?"

Pertanyaannya yang mampu membuat jantungku seketika berdegup kencang. Ini apa sih. Pakai segala izin minta cium. Lagian biasanya dia juga enggak pernah minta cium. Lebih sering sih menyosor langsung.

"Ga ada Mine di sini. Jadi ga usah sandiwara seperti keluarga harmonis dan romantis. Aku lagi malas drama."

"Enggak sandiwara. Saya serius mau cium kamu."

Aku menarik napas lantas membuang pandanganku keluar jendela. "Enggak boleh ya?" tanyanya lagi. Aku memilih tidak menjawab, tetapi tiba-tiba tangan Kak Gandra mengambil tanganku dan melayangkan kecupan di sana, "jangan minta cerai ya, Nda."

Kalimat itu adalah kalimat kelima yang sudah dia ucapkan pagi ini.

Serius. Bosan aku mendengarnya.

"Kenapa emangnya? Coba kasih aku penjelasan yang jelas. Jangan tahan aku terus."

"Mine butuh kamu."

Sebelah alisku menukik. "Cuma karena itu?" Kak Gandra mengangguk.

Kalau cuma Mine, alasan itu enggak cukup untuk membuat aku bertahan lama. Paling hanya sampai Mine pulih kemudian aku akan tetap gugat cerai.

Mutualism MarriageWhere stories live. Discover now