🍂Tiga Puluh Tujuh🍂

15.4K 808 60
                                    

"Ih, Mami! Mine enggak mau ikut Mami ke rumah sakit. Mine mau di sini aja, nunggu Papi. Kan Mine mau diajak pergi sama Papi."

Ini anak bersikeras banget ingin pergi sama Papinya. Mana aku buru-buru ingin ke rumah Ibu. Aku kan juga enggak mungkin meninggalkan Jasmine sendirian di rumah. Bisa-bisa aku dimarahin Kak Gandra.

"Mine," aku berjongkok menyamakan tinggi tubuh kami, "Nenek sakit. Mami harus segera bawa nenek ke rumah sakit."

"Tapi Mine mau pergi sama Papi! Mine kangen Papi!" teriaknya melengking.

Aku paham sih kondisi Mine karena memang dia jarang bertemu Papinya. Makanya dia bisa sekeras kepala ini.

"Yaudah," aku mengelap air matanya, "kita ke percetakan ya. Mami antar Mine ketemu Papi, habis itu Mami tinggal ya."

"Iya, antar Mine dulu."

"Yaudah," aku menggenggam tangannya, "ayo."

Kami berjalan keluar dari rumah. Di depan rumah, agak sulit untuk menemukan taksi sehingga kami harus berjalan terlebih dahulu ke depan komplek. "Mami," panggil Mine yang membuat aku menoleh ke arahnya, "nanti minta antarkan sama Papi aja ke rumah sakit. Pasti Papi mau kok. Nanti kita ke bawa nenek ke rumah sakit bareng-bareng."

Aku menarik napas pelan. Kak Gandra pasti akan menolaknya sih. Dalam keadaan enggak sibuk aja dia enggak mau mengantar Ibuku ke rumah sakit, apalagi dalam kondisi sibuk begini.

Ga usah berharap banyaklah.

Sudah terlalu sering kecewa aku.

"Lihat aja Papi mau atau enggak," ucapku akhirnya.

Beberapa saat kemudian, kami sudah naik ke dalam taksi. Taksi ini membentang jalanan ibu kota untuk menuju ke percetakan Kak Gandra. Di sepanjang perjalanan aku dan Jasmine hanya terdiam, sibuk dengan pikiran kami sendiri.

"Sudah sampai!" teriak Jasmine penuh semangat. Dia langsung membenarkan letak tasnya kemudian bersiap ke arah luar.

"Tunggu, Mine," aku mengeluarkan selembar uang lantas memberikan ke driver taksi itu, "kembaliannya ambil aja, Pak. Terima kasih ya."

Aku dan Mine keluar dari taksi dan masuk ke dalam gedung percetakan. Gedungnya hanya terdiri dari dua lantai, tetapi sangat luas. Di lantai bawah terdiri dari kantor operasional dan juga mesin-mesin, sedangkan di lantai atas khusus untuk kantor Kak Gandra.

Aku pernah dua kali ke percetakan ini dan hanya sebagai kecil pegawai di sini yang tahu kalau aku istrinya Kak Gandra. Aku enggak masalah sih mau mereka tahu atau enggak, yang penting saat aku datang aku enggak diusir pulang.

"Ada yang bisa dibantu?" ucap seorang perempuan menghampiriku, "bisa tanya-tanya dulu. Mau order apa?"

Kan, memang sedikit yang kenal aku.

"Enggak mau order apa-apa," aku menunjuk ke arah Jasmine, "Pak Gandra ada? Anaknya ingin bertemu Papinya."

"Oh, hai Mine!" ucap perempuan itu sambil melirik ke arah Jasmine, rupanya dia baru sadar ada kehadiran gadis kecil itu di sini, "mau ke Papi? Sini aunty antar."

"Ga usah, Mbak. Aku sendiri yang antar."

"Saya aja, Mbak. Kalau boleh tahu, Mbak pengasuh baru Jasmine ya? Saya baru melihat."

"Saya istrinya Pak Gandra," ucapku tegas, "saya buru-buru. Pak Gandranya di mana?"

"Sorry, Bu. Pak Gandra sedang ada di lantai atas."

Tanpa membalas, aku langsung berjalan cepat menuju ke lantai atas. Aku sudah berdiri di depan pintu ruangan Kak Gandra, tetapi ada suara dari arah dalam ruangan yang membuat aku mendadak melepaskan tanganku dari gagang pintu. Aku mengintip melalui jendela dan seketika tubuhku bergetar.

Mutualism MarriageWhere stories live. Discover now