🍂Empat Puluh Lima🍂

10.8K 699 37
                                    

"Kakak emangnya bisa masak?"

"Dibisa-bisain."

Aku terkekeh sambil terus menatap Kak Gandra yang sedang berkutat di dapur. Dia ingin membuat nasi goreng untuk makan siang kami. Padahal aku sudah mengajukan diri untuk menggantikannya memasak, tapi dia tetap bersikeras memintaku untuk tidak melakukan apa pun selain Istirahat.

"Kak," panggilku lagi.

Kali ini dia melayangkan tatapan kesal ke arahku. "Kenapa kamu enggak percaya banget sih? Saya bisa masak tahu."

"Iya, iya," aku terkekeh pelan, "si paling bisa masak. Aku tunggu di sini aja deh. Menunggu masakan dari chef Gandra."

Setelah itu tidak ada percakapan lagi. Kak Gandra sibuk memasukkan berbagai bahan masakan ke dalam penggorengan, sedangkan aku sibuk menatap setiap pergerakan yang dia buat.

Dari belakang aja dia ganteng banget. Tubuhnya tegap, tinggi, tidak gendut dan juga tidak kurus. Pokoknya tubuhnya bagus deh. Pantas saja kalau masuk ke dalam pelukannya aku berasa nyaman banget. Sampai-sampai kalau dipeluk sama dia, aku enggak mau lepas, kecuali dalam keadaan aku yang lagi mengambek. Hehe.

"Sudah jadi," saking sibuk menikmati pemandangan tubuh Kak Gandra, aku sampai enggak sadar bahwa aktivitas memasaknya telah berakhir. Dia meletakkan satu piring nasi goreng tepat di tengah kami, "dicoba, Nda. Kalau enak, enggak perlu tepuk tangan."

Dih, sombong banget dia.

Aku aja yang sering kali masak, enak enggak pernah tuh diberikan tepuk tangan sama dia. Dipuji juga enggak pernah.

Aku menerima sendok yang diberikan oleh Kak Gandra. "Tapi kalau enggak enak, boleh dimuntahkan  nggak?"

"Kamu enggak menghargai saya," dia menunjuk ke arah tangannya yang memerah dan juga ke arah dahinya berkeringat, "perjuangan saya nih. Hargai saya dong."

"Iya, iya," aku mengambil tissue dan mulai mengelap keringat di dahinya, "mau dihargai berapa sih? Kan aku enggak punya uang. Uang aku kan kebanyakan dari Kakak semua."

"Dihabiskan aja makannya, itu sudah buat saya senang."

"Iya," aku mengambil satu sendok dan memberikan kepadanya, "ini. Ayo di makan."

Seperti semalam, kami makan disatu piring yang sama. Kalau aku boleh menilai, nasi gorengnya sangat biasa aja, malah jauh dari kata enak. Rasanya juga hanya manis doang. Tidak ada rasa lain. Mungkin karena Kak Gandra terlalu banyak memasukkan kecap.

"Enak nggak, Nda?" tanyanya meminta validasi.

Aku mengangguk. "Enak," ucapku berbohong. Berbohong demi membuat hatinya senang, enggak apa-apalah.

"Saya hebat kan, Nda?"

Aku meringis. Baru juga masak nasi goreng, tapi sudah merasa dirinya hebat. Apalagi aku yang suka masak rendang sebagai menu sarapan. Terbayang enggak sih, aku serepot apa, mana dikejar-kejar waktu.

"Hebat."

Kemudian setelah itu kami terdiam, sibuk menikmati nasi goreng rasa kecap ini. "Manda. Saya baru tahu ternyata begini ya rasanya masak," ucapnya kembali membuka suara, "padahal saya cuma buat nasi goreng, tapi sudah secapai ini. Apalagi kamu ya, masak masakan yang lebih susah setiap harinya. Menunya juga beragam. Berarti kamu lebih hebat daripada saya."

Dia menunjukkan tangannya. "Tangan saya juga sampai luka," tiba-tiba pria itu menyentuh tanganku, "tangan kamu pernah luka nggak?"

"Sering."

"Pasti sakit ya? Saya aja kesenggol penggorengan rasanya sakit banget."

"Aku mengangguk. Aku juga sering kesenggol penggorengan. Jariku teriris pisau. Tanganku ketumpahan minyak panas. Banyaklah."

Mutualism MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang