🍂Empat Puluh Dua🍂

13.3K 734 57
                                    

Sesudah tangisku reda, Kak Gandra menarikku dan membawaku masuk ke dalam mobilnya. Dia memberikan aku sebotol air mineral dengan tutup yang sudah dibuka. "Minum dulu, biar tenang."

"Kalau cuma dikasih minuman doang, enggak bikin aku tenang Kak!" sentakku, aku menunjuk ke arah gedung rumah sakit, "kalau Kakak menceritakan ke orang tua Kakak apa yang sebenarnya terjadi, aku baru tenang."

"Nanti saya jelaskan," Kak Gandra kembali menyodorkan botol air mineral itu, "minum dulu, Nda."

Aku mengambil botol itu dan mulai menengaknya. "Kamu seperti enggak paham Mom aja. Kalau dia lagi emosi, diamkan aja. Kalau ucapannya disanggah, dia makin emosi. Sengaja tadi saya enggak memberikan statement apa-apa karena statement saya berbanding terbalik dengan apa yang dia ucapkan. Kalau saya ucapkan saat itu juga, keributannya akan semakin besar, Manda," ucapnya mulai menjelaskan.

Aku menyerahkan botol air mineral itu dan Kak Gandra langsung meminum air itu dengan posisi yang sama dengan bibirku. Tumben banget dia mau satu botol berdua. Bisanya enggak mau, lebih pilih enggak minum daripada minum bekasku.

Oh, ok, balik ke topik.

"Statement apa yang berbanding terbalik? Mom benar kok, Kak Gandra menikahiku cuma karena keyakinan dan kepercayaan Kakak bahwa aku bisa mengurus Mine."

"Bukan yang bagian itu. Bagian yang kamu enggak becus jaga Mine. Nyatanya kan, selama dua tahun ini, kamu bisa mengurus Mine dan saya dengan baik. Anak saya aja sampai bisa sesayang itu sama kamu."

Aku bergumam sebelum melanjutkan pembicaraan. "Berarti aku enggak bisa mengurus Kakak dengan baik ya? Soalnya Kakak sampai sekarang enggak bisa sayang sama aku, walau sedikit aja."

"Manda," suaranya terdengar frustrasi, "Kata Mom, dia bilang bahwa saya akan menceraikan kamu jika kamu enggak becus mengurus Mine. Itu statement yang salah. Meskipun kamu enggak becus mengurus Mine, enggak akan saya ceraikan."

"Kenapa?"

"Karena mungkin uang bulannya kurang, jadi saya akan tambahkan uang bulanan agar pelayanan kamu lebih baik."

Aku tersenyum pias.

Capelah aku.

"Yaudah. Aku sudah tenang. Dan Mom sepertinya sudah tenang. Jadi," aku membuka pintu mobil, "ayo jelaskan yang sebenarnya."

"Iya."

Setelah itu kami berjalan bersama-sama masuk ke dalam gedung rumah sakit. Dari kejauhan, aku melihat Mom Eli sedang memainkan ponselnya. Wajahnya juga sudah datar, tidak tegang seperti tadi.

"Mom," panggil Kak Gandra yang membuat wanita paruh baya itu menoleh ke arah kami, "Gandra mau jelaskan."

Pria itu mulai menjelaskan yang sebenar-benarnya kepada Mom Eli. Aku yang berada di dekat mereka, hanya terdiam, terus mendengarkan. Sampai penjelasan Gandra berakhir, barulah Mom Eli menoleh ke arahku.

"Ga bisa. Itu tetap salah Manda," ucapnya yang membuat napasku lagi-lagi tercekat, "seharusnya ya kamu tahu tanggung jawab dong. Jangan lepas begitu aja ketika Ibumu sakit. Sudah tahu, Gandra sibuk kerja, ya pasti perhatiannya kurang buat anak."

Padahal sudah dijelaskan dengan detail, tapi masih saja Mom Eli enggak paham.

"Tapi aku sudah bilang sama Kak Gandra, kalau Mine tinggal sama aku aja selama aku mengurus Ibu."

"Enggak. Enggak. Apa pun pembelaannya, kamu tetap salah."

Dengan segala kerendahan hati. Aku akhirnya mengakui kesalahanku. Mungkin kata Mom ada benarnya, seharusnya aku enggak lepas tangan begitu saja. Seharusnya aku bisa lebih baik dalam mengatur waktu, agar seluruh tanggung jawab bisa aku penuhi.

Mutualism MarriageOnde histórias criam vida. Descubra agora