🍂Dua Puluh Lima🍂

14.3K 707 57
                                    

Kak Gandra terus menangis sampai di dalam kamar pun dia masih menangis. Aku enggak tahu apa penyebabnya, aku sudah beberapa kali bertanya, tetapi dia hanya mengeluarkan isak tangis dan memelukku erat.

"Sudah hampir setengah jam Kakak nangis sambil peluk aku begini. Kapan ceritanya?" ucapku sambil terus membalas pelukan Kak Gandra.

Ini pertama kalinya kami berpelukan tanpa sandiwara.

Mana pelukannya lama.

Sebenarnya aku senang dipeluk begini, tapi bingung juga. Soalnya Kak Gandra pakai segala nangis dan dia juga enggak mau menceritakan penyebabnya.

"Di gunung sempat nyasar?" tanyaku berusaha menebak-nebak.

Dia menggeleng.

"Di gunung ketemu hantu?"

Dia kembali menggeleng.

"Di gunung kehabisan ma—" ucapku terputus saat Kak Gandra semakin mempererat pelukan kami.

"Diam, Nda."

Yaudah aku diam. Diam sambil menikmati pelukannya yang hangat.  Fyi, selama bertahun-tahun aku pacaran sama Faisal, aku enggak pernah berpelukan. Baru kali ini aku merasa hangatnya pelukan tulus dari seorang pria.

"Kak, ini pelukannya enggak sandiwara kan?"

"Enggak."

"Oh, yaudah. Dilanjut lagi nangisnya."

Aman kan. Dia memelukku dengan ketulusan pantas saja rasanya beda. Lebih hangat dan menenangkan.

Beberapa saat kemudian, Kak Gandra melepaskan pelukannya. Matanya sembab dan hidungnya memerah. Dia nangis sampai sebegitunya, jadi semakin penasaran apa penyebabnya.

Pria itu mengeluarkan dompet dari sakunya, dia mengambil sesuatu dari dalam benda itu. "Lihat," dia menunjukkan sebuah foto kecil kepadaku, "foto saya dan Vinka di puncak gunung."

Aku jadi salah fokus.

Foto Kak Gandra bersama Vinka masih dia simpan di dalam dompet?

"Foto aku ada di dompet Kak Gandra nggak?" entah dorongan dari mana yang membuat aku berani untuk mempertanyakan itu. Padahal aku tahu betul jawabannya pasti enggak ada.

"Kami beberapa kali mendaki bersama, Nda," kalimatnya mengenai pendakian pun terus berlanjut. Dengan kata lain, dia memilih enggak menjawab pertanyaanku yang tidak penting itu.

"Makanya, saat saya mendaki gunung lagi, tanpa dia, saya jadi merasa benar-benar kehilangan. Gunung Gede adalah gunung yang saya dan Vinka sering kunjungi, selepas kepergiannya saya enggak pernah lagi ke gunung itu. Saya lebih memilih gunung-gunung lain, walaupun jaraknya lebih jauh dari Jakarta."

Dia bercerita panjang lebar.

Dengan serius aku mendengarkannya karena ini pertama kali Kak Gandra  bercerita sepanjang ini kepadaku. Mungkin efek dari dia yang sedang sedih.

"Setelah bertahun-tahun, kemarin saya memutuskan untuk kembali mendaki Gunung Gede. Dan setiap jalan yang saya lewati, saya terus teringat bayang-bayang Vinka," tatapan Kak Gandra memandang ke arah atas seolah sedang  membayangkan sesuatu, "kenangan indah saya dengan Vinka masih terekam dengan jelas."

Aku mengangguk tanpa berniat memberikan tanggapan.

"Vinka partner pendakian saya yang paling terbaik. Bukan hanya partner pendakian, perempuan itu partner terbaik dalam hidup saya."

Jujur saya, aku merasa sakit hati dengan penuturan Kak Gandra. Padahal selama ini aku berusaha sebaik mungkin untuk menjadi istri, tetapi tetap Vinka pemenangnya.

Mutualism MarriageDove le storie prendono vita. Scoprilo ora