🍂Tiga Puluh Sembilan🍂

18.8K 874 43
                                    

Keesokan paginya, Kak Gandra kembali menyusulku ke rumah sakit. Dia memberikan berbagai macam buah untuk Ibu, dan juga membelikan sarapan untukku.

"Dimakan dulu, Nda," ucapnya.

"Mine mana?"

"Saya baru mengantarnya sekolah. Habis itu saya langsung ke sini."

Aku bergumam, mataku melirik ke arah bangkar. Ibu masih terlelap tidur. Aku menarik napas sebelum akhirnya menoleh ke arah Kak Gandra. "Ke percetakan aja. Enggak usah di sini."

"Kamu sendirian. Rosa nanti sore kan pulangnya."

Senyuman miring aku lemparkan ke arahnya. "Aku udah biasa sendirian, Kak," aku melirik ke arah Ibu yang masih tertidur, "kan selama ini Kakak selalu mengajarkan aku untuk jadi istri yang mandiri," lanjutku.

"Maafin saya ya."

"Sudah telat," aku bangun dari posisi duduk, "aku enggak bisa pulang beberapa hari ini ke rumah. Aku mau mengurus Ibu. Kalau Kakak sibuk sama perempuan itu, Mine dititip ke aku aja. Biar aku yang urus dia."

Mataku terus menatap Ibu. Perempuan paruh baya itu masih tertidur pulas sepertinya dia tidak akan mendengar pembicaraan kami.

"Bisa. Saya bisa urus Mine. Kamu tenang aja. Fokus aja urus Ibu, enggak usah memikirkan yang lain dulu."

"Yaudah. Aku juga bisa urus Ibu," aku menunjuk ke arah luar, "Kak Gandra keluar aja. Pulang. Kita urus urusan masing-masing. Oh iya, karena aku kayanya enggak bisa mengurusi Kakak dan Mine bulan ini, Kakak enggak perlu kirim uang bulanan ke aku."

"Nanti tetap saya kirim," dia menarikku sehingga aku terjatuh di pelukannya, "saya pulang. Kalau butuh apa-apa bilang ya."

"Tapi kebutuhan aku bukan tentang uang aja kak. Kakak mau memberikan itu nggak?" tanyaku yang masih berada di pelukannya.

Terdengar helaan napas darinya. Pria itu melepaskan pelukannya lantas berlalu dari hadapanku. Aku tersenyum miris, bahkan dia aja enggak menjawab pertanyaanku.

Tidak menjawab artinya tidak kan?

Ya, Kak Gandra memang enggak pernah bisa memenuhi kebutuhanku, kecuali tentang uang.

°°°

Karena ingin fokus menjaga Ibu aku sampai rela tidak masuk satu minggu ke sekolah. Aku sudah mengabarkan pihak sekolah dan aku sudah mendapatkan izin. Hari ini tepat hari ketujuh aku tidak mengajar yang berarti besok, mau tidak mau, aku harus kembali ke sekolah.

"Rosa," panggilku yang membuat gadis itu menoleh ke arahku, "besok pagi, Mbak kembali mengajar."

"Iya. Nanti Rosa habis pulang sekolah langsung ke sini."

Aku mengangguk kemudian kembali fokus menatap Ibu. Aku menyentuh lengannya dan mengelusnya pelan. Aku sebenarnya enggak tega meninggalkan dia sendirian di rumah sakit, tapi aku enggak punya pilihan lain.

Aku harus bekerja, Rosa harus sekolah, dan kami enggak punya anggota keluarga lain yang bisa menemani Ibu.

"Manda," suara lirih Ibu yang membuat aku aku langsung menatapnya lekat, "Ibu mimpiin Bapak."

Aku terdiam, sedangkan Rosa mengambil kursi dan ikut duduk di sebelahku.

"Bapak bahagia di dalam sana. Ibu mau ikut Bapak juga. Ibu di sini merasakan sakit terus."

Kalimat yang Ibu lontarkan tidak begitu panjang, tapi cukup membuat hatiku tersentuh. "Jangan pergi dulu Bu. Ibu pasti kuat untuk melawan penyakit ini," ucapku dengan sesak, berusaha sekuat tenaga agar tangisku tidak pecah.

Mutualism MarriageWhere stories live. Discover now