59. Sebuah permulaan

173 16 31
                                    

"Kenapa papa bisa di pindah tugas!?!" Qila mengebrak meja kerja di ruang kerja ayahnya.

"Rencana Qila berantakan, semua gara-gara papa!"

Memang dari dulu Qila selalu menyuruh ayahnya menjadi kepsek di CBS hanya untuk bisa mendapatkan hati Ade yang notabennya ketos.

Romi, ayah Qila. Ia tak terima dituduh seperti itu oleh anaknya sendiri. "Papa juga kehilangan banyak uang, cuma buat jadi kepsek di sekolah kamu itu!"

"Jangan seenaknya nyalahin papa dong!"

"Semua salah papa! Aku gagal deketin kak Ade itu juga salah papa!" Qila terus menyalahkan papanya.

"Cowok terus pikiran kamu! Kapan kamu jadi anak berguna, hah?!" sentak Romi, kini mereka saling berhadapan beradu tatapan tajam.

"Lebih baik kamu gantiin Hendri! Hendri lebih berguna daripada kamu!" Qila tersenyum sinis.

"Dari dulu emang ayah selalu bandingin aku sama abang! Bahkan waktu abang udah ga ada!" Romi memicingkan matanya, dari dulu memang Hendri yang selalu ia bangga banggakan.

"Aku cape dibandingin terus!"

"Ayah nyesel punya anak kaya kamu!" Romi kelepasan mengatakan hal itu.

"Kalau Qila bisa minta sama Tuhan pun, Qila minta ga di lahirin Yah.." Setelah mengatakan itu pun Qila keluar dari ruang kerja ayahnya.

BRAK!

Sampai di kamar, ia melihat dirinya sendiri melalui cermin rias. Tertawa sinis, namun tanpa ia sadar air matanya mengalir begitu saja.

Dari pantulan kaca itu pula, terlihat satu stel jas pengantin dan juga gaun pengantin putih. "Hai kak Ade, sebentar lagi lo akan jadi milik gue!"

"Kenawhy? Karena Dea, akan hilang dari muka bumi ini!" Suara tawanya mengema di seluruh kamarnya.

"Dan lo, nikah sama gue!!" Sebut dia gila, setiap hari hanya berbicara dengan jas putih itu saja.

"Lo pasti ganteng banget kalau pake jas ini, dan gue akan jadi ratu dengan gaun ini." Qila berandai-andai jika ia akan menikah dengan Ade.

"Gue ga sabar nunggu lo cerai sama Dea!" Qila tersenyum lebar membaringkan tubuhnya sambil memeluk jas pengantin pria.

***

Di samping kegilaan Qila, di depan rumah bercat putih dengan arsitektur kuno namun elegan, berdiri seorang gadis dengan lelaki yang baru saja mematikan mesin motornya.

"Makasih kak, mau mampir dulu?" tawar Sasa.

"Ga, nanti malem gue jemput jam 8," ujar Tara tanpa melihat wajah Sasa.

"Ngapain?" cengonya.

"Ortu gue ada acara pembukaan cabang restoran baru." Sasa hanya ber-oh ria saja.

"Ohhh, oke!"

"Lo ga nanya cabang resto yang mana, gitu?" Sasa tersenyum kikuk.

"Harus ya?" Tara hanya menatapnya datar.

"Cabang resto yang mana?" tanya Sasa.

"ZuKa Resto, cabangnya SaKa Resto." Sasa tau asal usul dari nama resto milik Tara.

"ZuKa itu Zura Kastara, kalau SaKa?"

"Sasa Kastara." Tara mengusak pelan rambut Sasa.

'Edyan! Lo buat gue makin ga bisa tidur bangsat!' batin Sasa berasa pengen ngereog ditempat.

"O-okeei"

"Gue masuk dulu! Sampe ketemu nanti malam!" Sasa terburu-buru masuk ke dalam rumah agar pipi merahnya tidak terlihat oleh Tara.

DEADE [END]Where stories live. Discover now