Maksud Tersembunyi

540 75 3
                                    

Pemakaman.

Pemakaman bukanlah tempat yang disukai Gempa.

Gempa sudah pernah mengunjungi tempat ini dulu sekali, dan itu adalah pemakaman kedua orang tuanya sendiri.

Kini Gempa kembali ke tempat ini, dengan sekuntum bunga anyelir putih di tangan, dirinya menunggu giliran mendekati monumen pemakaman. Dimana dia harus meletakkan bunga anyelir putih.

Suasana penuh duka dan kesedihan, hampir membuat Gempa merasa sesak. Telinganya terkadang menangkap isakan tangis keluarga-keluarga korban, bagai mengiris-iris hati rapuh milik Gempa.

Melihat sudah gilirannya, Gempa melangkah mendekat. Tangannya menaruh pelan bunga anyelir putih tepat di depan monumen pemakaman. Gempa memejamkan kedua matanya. Dibalik monumen ini, terdapat sekitar 65 makam baru. Jumlahnya tidak main-main, memperjelas betapa berbahaya situasi saat itu.

Ketika dirasa sudah cukup, Gempa berdiri dari posisi berjongkok. Tanpa berkata hal lain lagi, Gempa berbalik lalu meninggalkan semua orang di sana. Orang lain yang ikut menghadiri pemakaman tidak menghentikan ataupun melarang Gempa pergi.

Gempa berhenti berjalan saat dia akhirnya menemukan wastafel umum, Gempa segera membersihkan tangan dan mencuci wajah. Tidak butuh waktu lama, Yaya datang menghampirinya sambil bertanya.

"Sudah selesai?"

"Belum."

"Maksudku, soal bunga tadi."

"Oh, sudah."

Yaya menghela nafas, Gempa memang seperti ini. Selalu terlihat tidak fokus jika ada hal berbau kematian serta pemakaman. Mungkin karena alasan pribadi bersangkutan soal kematian kedua orang tuanya. "Mau pulang sekarang?"

Gempa menggeleng. "Itu tidak sopan, Yaya."

"Mau gimana lagi, Gempa. Apa kau tidak sadar?" Mengernyitkan keningnya, Gempa meminta penjelasan. "Tidak.. sadar apa?"

"Kau pucat."

"... Oh." Gempa berkedip perlahan. Dia mengatakannya lagi, seolah baru mencerna perkataan Yaya. "Oh."

"Hanya pucat, aku tidak apa. Kau sendiri tahu aku tidak sakit, kan?"

"Memang, tapi tetap saja mengkhawatirkan."

Gempa terkekeh pelan.

"Ini tidak lucu, Gem. Aku sungguh-sungguh bertanya demi kebaikanmu."

"Baiklah-baiklah, mari pulang."

Tatapan Yaya sedikit melunak. "Aku akan memberitahu Raja dan Ratu dulu, kau tunggu di dalam mobil."

"Oke, terima kasih."

Mereka berpisah di sana, sama-sama melangkah ke arah berbeda. Di perjalanan menuju mobil, sudut mata Gempa seperti menangkap bayangan seseorang mengikuti dirinya.

Pundak Gempa berubah kaku, alisnya bertaut. Dia tidak menghentikan langkahnya. Siapa? Para pengguna kekuatan bayangan? Mereka ingin menyerangku hari ini? Tapi tidak mungkin, pengawasan begitu ketat. Bagaimana mereka bisa menyusup? Atau jangan-jangan pengkhianat lain?

Wajah Gempa semakin memburuk tatkala Gempa mendapati sosok ini kian mendekat. Tepat di saat Gempa berbelok untuk memasuki tempat parkir khusus, sebuah suara familiar membuat Gempa terkejut bukan main.

"Nak Gempa?"

"Ah!!—" Gempa terlonjak kaget, di hadapan sekarang berdiri salah satu menteri Light Kingdom, yaitu Gamma.

Gamma menaikkan salah satu alisnya menyaksikan reaksi berlebihan Gempa. "Ada apa?"

Tidak membalas Gamma terlebih dahulu, Gempa menoleh ke belakang secepat mungkin. Manik gold miliknya tidak menemukan siapapun, Gempa menahan rasa penasarannya, dia menjawab Gamma agak lama.

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Where stories live. Discover now