Kantin Sekolah

560 84 13
                                    

"Taufan dihukum lagi?" Tanya Gempa khawatir, Halilintar mendengus. "Pasti karena salahnya sendiri."

Storm meraih sendok terdekat, tangannya mengaduk sup buah di dalam mangkuk. Dia berusaha memisahkan buah pepaya dan buah semangka. "Kak Taufan bilang ada kecoak di kelas, tapi nyatanya tidak ada. Pak Laks menyuruhnya membersihkan perpustakaan sebagai hukuman."

Egidiana yang hendak memakan roti seketika berhenti, dia menatap ngeri Storm. "Tidak bisakah kau membicarakan hewan kecoak ini nanti? Aku sedang makan!"

Storm menggaruk tengkuknya. "E-eh? Maaf-maaf, aku lupa!"

"Aku doain di sup buah-mu ada kecoak!"

"Hei! Kata-katamu jelek sekali!"

Mereka sedang berada di kantin sekolah. Kantin sudah mulai sepi, tidak seramai tadi. Membuat empat orang ini nyaman untuk makan di kantin dan tidak membawa makanan mereka untuk dimakan di dalam kelas.

"Diam, kalian berdua." Suara Halilintar datar, namun itu cukup menghentikan Egidiana dan Storm. Mereka kembali mengurusi diri masing-masing.

Gempa menghela nafas sambil membuka tutup bekal. "Dimana Solar? Kok tidak ada di kantin?"

"Kenapa kau masih bertanya, Gem?" Ujar Halilintar, dirinya melanjutkan. "Tentu saja si mata empat itu ada di perpustakaan bersama calon kekasihnya."

Egidiana hampir tersedak.

Wow, aku tidak tahu Pangeran Halilintar dari Thunder Kingdom bisa berkata seperti itu. Dia juga hanya bisa bersikap santai kalau ada Gempa di sampingnya. Ah, aku suka ini! Batin Egidiana merasa senang.

Mata Halilintar menangkap bekal milik Gempa. "Kau membuatnya sendiri, Gem? Aku tidak pernah melihat masakan dari pelayan istana Earth Kingdom."

Gempa mematahkan sumpit kayu menjadi dua, lalu dengan sekali jepitan dirinya dapat mengapit daging sapi berlumeran bumbu-bumbu pilihan. Gerakannya terlihat biasa sering melakukan, terlihat ahli.

Wife material?! Egidiana menjerit dalam hati.

"Iya, Hali mau coba?" Ucap Gempa. Tanpa menunggu jawaban, tangannya mengarahkan sumpit dengan daging tepat di dekat mulut Halilintar. Tindakan Gempa menyebabkan telinga Halilintar terasa panas.

Halilintar membuka mulut, menerima suapan dari Gempa. Daging tersebut dia kunyah, bumbunya benar-benar meresap sempurna. Sangat memanjakan lidah Halilintar yang memang tidak suka saus dan sejenisnya.

"Bagaimana? Bagaimana?? Apakah enak?" Gempa bertanya, tatapannya penuh harapan. Halilintar memandangi wajah Gempa lumayan lama sebelum menjawab. "Enak."

Gempa tersenyum cerah. "Aku senang kau suka."

Storm menyaksikan mereka, papan bertuliskan 'tolong lihat sekitar kalian jika ingin lovey-dovey' bagaikan terpajang di wajah datarnya. Storm melirik Egidiana di sampingnya.

Sementara Storm lelah menghadapi dua orang itu, Egidiana malah seperti sudah terbang ke langit ketujuh melihat interaksi dua orang yang— baginya, sebentar lagi merangkap menjadi sepasang kekasih.

Namun momen mereka diinterupsi sebuah suara imut nan menggemaskan, Egidiana tidak jadi marah karenanya.

"Permisi?"

Mereka berempat menoleh. Sosok Daun membawa nampan berisikan salad sayur dan jus buah masuk ke manik mereka masing-masing. Ucapan Daun terhenti, dirinya terlihat ragu-ragu.

Sadar akan keraguan Daun, Gempa memberi dorongan. "Ya, ada apa Daun? Apakah kau ingin duduk bersama?"

Daun mengangguk kecil. "A-apakah boleh?"

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Where stories live. Discover now