Balkon Kamar

779 87 13
                                    

Sesampainya di istana, Gempa langsung menuju ke arah dimana kamarnya berada sambil melepaskan syal yang melilit lehernya. Di sepanjang lorong para pengawal-pengawal serta pelayan membungkuk hormat pada Gempa.

"Selamat kembali dari perjalanan, Pangeran Mahkota." Sambut mereka semua bersamaan, seperti paduan suara.

"Iya, terima kasih."

Tanpa banyak bicara, para pelayan menghampiri Gempa. Mereka menerima pemberian Gempa berupa jaket tebal dan syal miliknya. Oh, juga jangan lupakan wadah bekal Gempa.

Salah satu pelayan tidak bisa menahan rasa penasarannya. "Pangeran Mahkota tidak menghabiskan bekal hari ini?"

Seolah-olah baru ingat, Gempa menjawab. "Ah, iya. Tolong jangan beritahu Yaya. Nanti dia marah-marah. Kalian pasti tahu kan, Yaya kalau marah seperti apa."

Mendengar ucapan Gempa, pelayan-pelayan tersebut tertawa pelan. "Baik, Pangeran Mahkota. Kami janji tidak akan memberitahu Nona Yaya."

Sebenarnya, kebanyakan pelayan istana di Earth Kingdom itu terlalu muda dalam hal umur, hampir seumuran dengan Gempa tapi lebih tua sedikit. Sekitar 19 sampai 20 tahun. Namun karena orang tua mereka yang merupakan pengawal atau pelayan lama- merasa berhutang budi, mereka mengajari anak mereka bagaimana cara melayani seorang Pangeran Mahkota dari kecil. Sudah berulang kali Gempa berkata bahwa mereka tidak perlu melakukan itu semua, jawaban mereka masih saja sama.

Gempa hanya bisa pasrah. Urusan begini pengikutnya memang paling keras kepala.

"Oh ya, ngomong-ngomong, Yaya dimana? Aku tidak melihatnya sedari tadi."

"Nona Yaya sedang bertemu dengan petinggi organisasi R.O.S.E, Pangeran Mahkota." Kedua manik gold milik Gempa menyipit mendengar itu, raut wajahnya berubah serius. "Sudah berapa lama dia berangkat?"

"Kalau tidak salah, baru sekitar setengah jam."

"Hmm, oke."

Begitu mereka sampai di depan kamar Gempa, pelayan tertua di sana bertanya. "Apa Pangeran Mahkota perlu hal lain? Jika anda ingin, kami bisa menyiapkan mandi air hangat untuk Pangeran Mahkota."

"Tidak perlu, kalian siapkan makan malam saja." Gempa menolak usulan mereka secara baik-baik.

"Baiklah, Pangeran Mahkota."

Membuka pintu kamar, Gempa masuk tanpa buru-buru. Pelayan istana pergi untuk melanjutkan tugas mereka masing-masing, perlahan Gempa menutup kembali pintu itu.

Tangan Gempa menyampirkan tas ransel ke kursi belajarnya, lalu melepaskan dasi dan melonggarkan beberapa kancing seragam. Gempa mendudukkan dirinya, kemudian melepaskan sepatu. Dia letakkan sepatu itu ke rak khusus sepatu. Mata Gempa terpejam, pikirannya berkutat pada kegiatan apa saja yang telah dia lakukan dan selesaikan.

Pertama, dia tidak jadi mengunjungi rumah kedua orang tua Egidiana bersama Daun. Selain karena mereka masih tidak tahu dimana letak rumah sakit dimana Egidiana dirawat, tetangga-tetangga mereka juga tidak memberitahu apapun soal kedua orang tua Egidiana maupun apakah orang tua Egidiana pernah kembali ke rumah mereka atau tidak.

Gempa meminta maaf pada Daun, sebab sudah menyia-nyiakan waktunya. Bagaikan malaikat berwujud manusia, Daun mengatakan ini bukan salah Gempa dan Gempa tidak perlu meminta maaf. Tidak ada kegiatan lain, mau tidak mau mereka berdua kembali pulang. Gempa menyempatkan diri untuk mengantarkan Daun sampai ke apartemen miliknya.

Kedua. Pada akhirnya, mau seberapa lama Gempa berkutat dengan ramuan Aeonian, Gempa tidak bisa membuat ramuan itu sendiri menggunakan kerja keras dan dirinya masih membutuhkan bantuan dari Shad.

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang