Pesan Egidiana

597 76 8
                                    

Daun-daun mulai berguguran dari dahannya, menunjukkan tanda-tanda pergantian musim. Angin sepoi pun terasa amat dingin. Sedikit demi sedikit, kawanan burung-burung bermigrasi ke daerah bersuhu hangat.

Semua orang yang keluar untuk berpergian, bekerja, atau sekedar jalan-jalan mengenakan pakaian lebih tebal dari biasanya.

Gempa dengan tidak terlalu bersemangat melangkah masuk ke dalam kelas. Karena suhu ruangan ruangan itu normal, tangan Gempa melepaskan syal di lehernya. Dirinya langsung disapa oleh Fahren.

"Pagi, Gempa."

"Pagi juga, Ren."

Gempa menyampirkan tas ransel miliknya, Fahren memperhatikan gerak-geriknya sedari tadi. "Apa kau lupa makan, Gem? Kau terlihat lemas. Padahal, ini hari pertama masuk sekolah setelah libur dua Minggu."

Tidak mungkin kan kalau aku bilang aku kangen bertemu sama Hali? Terdengar aneh. Juga, Hali masih menutupi kondisi sebenarnya dari publik. Batin Gempa, berusaha menahan helaan nafas.

"Aku sudah sarapan, Ren. Terima kasih atas kekhawatiran-mu."

"Oh, baiklah." Merasa Gempa tidak ingin berkata lebih lanjut lagi, Fahren mengalihkan topik pembicaraan mereka. "Ngomong-ngomong, bagaimana tugas alkimia-mu, Gem?"

"Tugas alkimia soal membuat ramuan Aeonian itu?"

"Yup."

"Hmm, agak susah. Jadi aku milih membuat ramuannya di sekolah saja sambil meminta bimbingan Bu Shad. Lagipula, jadwal pelajaran alkimia itu jam terakhir." Fahren mengangguk setuju.

Tidak memiliki kegiatan lain, Gempa mendudukkan diri di tempat duduknya. "Enak ya, Fahren. Punya kekuatan untuk mengatur suhu, terutama suhu tubuh."

Fahren mendengus. "Tidak juga."

Gempa melirik bangku milik Egidiana, kedua alisnya bertaut. Aneh, kenapa Egi masih belum kembali dari rumah sakit? Apa aku harus mengunjungi rumah kedua orang tuanya lagi?

"Pagi semua!!" Seru Eros, baru sampai ke kelas. Tubuhnya berubah kaku ketika pandangannya jatuh pada Fahren. Seperti tidak tahu apa itu tata krama atau sopan santun, Eros menunjuk-nunjuk wajah datar bak papan setrika Fahren.

"Kau!!"

"Apa? Aku kenapa?" Ucap Fahren malas.

"Kenapa kau datang pagi?!"

"...? Maksudmu? Aku tidak paham."

"Kau lupa, Fahren? Setiap kali kau datang pagi dan tidak telat, itu berarti kelas kita akan tertimpa suatu masalah- aduh!!" Belum sempat menyelesaikan perkataannya, perut Eros disikut Fahren.

"Kalau mau bicara dipikir-pikir dulu." Marah Fahren, Eros meringis kesakitan sambil berjalan ke arah kursinya. "Iya-iya, galak banget."

Gempa terkekeh kecil. "Sabar ya, Ren."

Kelas semakin ramai, semua murid mulai berdatangan. Tidak lama kemudian, manik gold milik Gempa menangkap sosok Fang dan Daun memasuki kelas bersamaan.

Gempa menyapa mereka berdua. "Pagi."

Daun langsung membalas dengan ceria, senyumannya lebar menampilkan deretan gigi putih. "Pagi, Kak Gempa!"

Fang memberi Gempa tatapan rumit. "Uh, pagi."

Daun meletakkan tas ransel miliknya di atas meja, dia melemparkan raut wajah bingung pada Fang. "Apa itu tadi, Fang?"

"Bukan apa-apa."

"Benarkah? Kau tidak bisa menipu indra pendengaran-ku, Fang. Kau terdengar ragu saat menjawab sapaan Kak Gempa."

"Bawel, kalau aku bilang tidak apa-apa, artinya tidak apa-apa!" Daun cemberut, pipinya menggembung lucu. Sayangnya, Fang sudah kebal terhadap segala tingkah laku keimutan Daun. Duduk di kursinya sendiri, Fang mengabaikan Daun.

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Where stories live. Discover now