Tempat Bersandar

587 77 20
                                    

Terdapat kantung hitam di bawah mata Gempa, dirinya menatap langit setelah turun dari mobil. Langit terlihat begitu gelap akibat awan mendung.

Gempa berkomentar. "Sepertinya akan ada hujan."

Yaya ikut turun, tangannya menyerahkan payung lipat, Gempa dengan senang hati menerima payung itu. "Ini payung untukmu, Gem. Apa kau memerlukan hal lain?"

Menggeleng, Gempa memasukkan payung itu ke dalam ransel. "Tidak, Yaya. Sudah semuanya."

"Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu." Ucap Yaya. Dia menaiki mobil kembali. Pintu mobil tertutup, mobil pun melaju di atas aspal. Meninggalkan debu berterbangan di belakangnya.

Gempa mengingat hasil penyelidikan Yaya terkait asal-usul Daun.

'Gem.'

'Ada apa, Yaya?'

'Aku sudah selidiki anak yang kau sebutkan, tapi..'

'Tapi?'

'Dia punya kehidupan normal.'

'Normal..?'

'Yatim piatu sedari kecil, bertingkah laku baik dan tidak terlalu menonjol, baik pada tetangga baru semenjak dirinya pindah dari desa ke apartemen. Semuanya terdengar normal.'

'... Terlalu normal, sehingga aneh.'

'Benar. Juga, karena dia berasal dari sekolah desa kecil, aku tidak bisa menyelidiki lebih lanjut. Maaf.'

'Tidak perlu minta maaf, Yaya. Aku menghargai usahamu. Terima kasih. Kau boleh pergi sekarang.'

'Baik.'

Gempa menahan perasaan ingin menguap, kakinya melangkah melewati gerbang sekolah.

Hari ini Gempa tidak berangkat pagi seperti biasa. Malam kemarin, Gempa tidak sengaja melupakan tugas sekolah yang harus dikumpulkan besoknya, Gempa terpaksa mengorbankan waktu tidur untuk menyelesaikan tugas sekolah itu. Belum lagi, dua hari kemarin Gempa sangat sibuk dengan urusan kerajaan. Bagian buruknya, Gempa kesiangan dan lupa makan sarapan pagi karena takut terlambat.

Singkatnya, kondisi Gempa agak tidak baik. Walaupun begitu, Gempa memaksakan diri masuk sekolah.

Belajar itu sebuah keharusan. Adalah alasan Gempa agar Yaya tidak melarangnya masuk sekolah.

Mungkin saking mengantuknya, Gempa tidak sengaja menabrakkan diri pada dada bidang seseorang. Gempa menunduk sambil meminta maaf. "Maaf, aku tidak melihatmu-"

"Gempa?" Mata Gempa membulat. Suara khas ini..

Gempa mendongak, tanpa sadar tersenyum. "Hali, selamat pagi."

Halilintar mengernyitkan keningnya. "Gem, apa kau kekurangan tidur?"

"Ah? Apakah terlihat??" Gempa berkedip perlahan, Halilintar tidak membalas.

"Hali?"

"En, aku mendengar. Dan, ya. Sangat terlihat dari kantung matamu." Halilintar mengutarakan pikirannya. "Kukira kau mengalami masalah di perjalanan karena ini pertama kalinya kau tidak datang pagi."

Gempa terkekeh, mereka berdua melanjutkan berjalan ke arah kelas. "Tidak mungkin hal buruk terjadi padaku."

Halilintar terdiam.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau ada di dekat gerbang? Biasanya setelah sampai kelas, kau tidak pernah keluar." Tanya Gempa, langkahnya mulai sempoyongan. Halilintar menghampiri, tangannya meraih pinggang Gempa, menariknya mendekat.

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Where stories live. Discover now