Dua Murid

516 80 10
                                    

Satu Minggu berlalu tanpa kejadian apapun. Walaupun para orang tua masih khawatir akan situasi, mereka masih harus merelakan anak-anak mereka menuntut ilmu di sekolah.

Seperti biasa, Gempa datang lebih awal dari murid lain. Selain memang ingin berangkat pagi, Gempa ingin melaksanakan jadwal piket miliknya.

Meletakkan ransel, Gempa meraih sapu yang terletak di pojok kelas. Dia membersihkan debu dan pasir, jumlahnya tidak banyak karena sebelum pulang murid piket kemarin sudah membersihkannya terlebih dahulu.

Suara langkah kaki membuat Gempa menoleh, mengira Halilintar datang. Harapan Gempa sedikit hilang ketika yang datang bukanlah Halilintar, melainkan Egidiana. Gempa menghela nafas. Apa aku serindu itu dengan Hali? Padahal kami sering melakukan panggilan video.

"Pagi, Gempa!" Ujar Egidiana, melihat Gempa nampak melamun. Gempa tersenyum ramah. "Pagi, Egidiana. Bagaimana hari liburmu?"

"Membosankan. Tidak ada hal menarik apapun selama liburan." Jawabnya sambil menghampiri Gempa. "Lebih enak sekolah daripada di rumah."

"Benarkah?" Merasa lantai kelas sudah cukup bersih, Gempa menaruh sapu ke tempat semula. Sementara Egidiana duduk, ranselnya dia gelantungkan di sandaran kursi.

"Iya!"

"Kalau begitu, kau punya pendapat yang berbeda dengan murid lain. Mereka sangat menyukai hari libur."

"Itu karena mereka malas, Gem. Jangan bilang kalau kau juga berpendapat sama??"

"Aku suka libur, tapi terkadang libur tanpa ada kegiatan apapun memang membosankan."

"Kan? Kau tahu apa maksudku, Gem." Goda Egidiana, Gempa tertawa mendengarnya.

Pemandangan kedekatan mereka menjadi hal pertama Halilintar lihat setelah sampai. Pemandangan itu bagai menyengat mata Halilintar yang berada di depan pintu.

Awalnya, dia berniat menyapa Gempa, namun dia urungkan. Rasa cemburu menggerogoti hatinya perlahan-lahan.

"Ahem."

Percakapan mereka terhenti, Gempa dan Egidiana menengok bersamaan. Mendapati sosok Halilintar, wajah Gempa berubah sumringah.

"Pagi, Hali. Sudah sarapan?"

"En." Halilintar mengeluarkan suara konfirmasi, membuat Gempa bingung.

"Ada apa, Hali? Kau terdengar murung." Nada khawatir melekat di pertanyaan Gempa, hampir membasuh bersih rasa cemburu Halilintar karena kini perhatian Gempa hanya jatuh pada dirinya.

"Aku-"

"Aku ke kantin dulu, ya! Kalian lanjutkan obrolannya." Sela Egidiana, Halilintar dapat merasakan matanya berkedut jengkel. Tidak membiarkan mereka membalas ucapannya, Egidiana lekas pergi seperti sedang kabur. Menyisakan Halilintar dan Gempa berduaan di dalam kelas.

"Tadi apa, Hali?"

Meyakinkan diri sendiri bahwa Egidiana tidak akan menginterupsi lagi, Halilintar melanjutkan. "Aku tidak kenapa-napa."

"Beneran?" Gempa mengangkat salah satu alisnya.

"En." Ransel yang sedari tadi Halilintar bawa dia sampirkan ke kursi, dirinya menduduki tempat kursi Egidiana tadi. Gempa tidak bisa menahan senyum melihat tingkah Halilintar. "Kok duduk sini? Tempat dudukmu ada di belakang, Hali."

"Apa tidak boleh?"

"Bukan begitu." Gempa menghela nafas, kemudian tertawa pelan. "Kau lucu sekali hari ini."

Telinga Halilintar mulai dihiasi warna merah. "En. Tidak selucu dirimu."

Gempa tercangah, dirinya ikut merona. Jarinya bergerak untuk menggaruk pipi yang tidak gatal. "Iya kah..?"

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Where stories live. Discover now