Getaran Hati

754 102 3
                                    

Halilintar tidak keluar dari kelas sama sekali. Bahkan, ketika bel masuk berbunyi.

Kelas yang tadinya sepi segera terisi murid. Gempa juga ikut kembali, di tangannya ada roti dan sekotak susu hangat. Sesampainya dia di tempat duduk, Gempa menyerahkan makanan itu pada Halilintar. Halilintar hanya menatap makanan dengan tatapan bingung. "Untukku?"

Gempa membalas. "Iya. Kau sendiri bilang bahwa kau tidak sarapan pagi ini."

"Aku memang mengatakannya, tapi kau tidak perlu membelikanku makanan." Ucap Halilintar canggung.

"Dan membiarkanmu kelaparan? Kita pulang jam satu siang, Hali. Aku tidak yakin kau bisa menahan lapar selama itu."

"Sebenarnya, aku bisa menahan lebih lama dari itu."

Gempa terdiam. Bimbang antara ingin bertanya apakah menahan lapar merupakan bagian latihan Halilintar atau menahan pertanyaannya. Akhirnya Gempa memilih mengatakan hal lain. "Yah, setidaknya makanlah. Apa kau menolak niat baikku?"

Lagi-lagi, Gempa menggunakan mata bulatnya agar Halilintar mau menerima pemberiannya.

".... Terima kasih, aku akan kembalikan uangnya padamu." Kata Halilintar sambil membuka bungkus roti.

Gempa menepis perkataan Halilintar. "Tidak perlu. Anggap saja ini balasan untuk uang koin yang aku pinjam darimu."

"Harga roti dan susu kotak itu tidak sepadan uang koin, Gem." Halilintar mulai menggigit roti berisi daging tersebut, sedikit rileks saat tidak merasakan saus.

Gempa tersenyum hangat. "Jangan lihat sesuatu dari nilainya, Hali. Aku lakuin ini karena memang dari niat."

Halilintar tidak membalas, namun dirinya mengunyah agak lambat. Berniat mendengarkan Gempa secara seksama. Gempa menyaksikan Halilintar makan dengan senang, tanpa sadar terus berbicara.

"Ngomong-ngomong, berapa element yang kau ketahui ada di dunia, Hali?"

Pikiran Halilintar terasa agak terlempar bersamaan pergantian topik Gempa. Halilintar menelan roti hati-hati. "Bukankah ada 6 element resmi? Petir, cahaya, tanah, angin, api dan es. Jika kau menyuruhku menyebutkan cabang dari semua element, aku tidak sanggup, Gem."

"Kau melupakan satu element resmi, Lili."

Halilintar tersedak, Gempa spontan memberinya susu hangat. Halilintar meminum susu hangat perlahan-lahan, alisnya bertaut. "Uh, Lili?"

Gempa tertawa malu. "Aku berniat bercanda. Aku tidak tahu kau akan tersedak seperti itu, maaf!"

Halilintar memilih mencoba melupakan nama aneh dari Gempa, telinganya benar-benar merona jika terus mengingatnya.

"Satu-" Halilintar membenarkan suaranya terlebih dahulu. "Satu element resmi apa yang belum aku sebut?"

"Element nature."

"... Maksudmu, element nature dari Nature Kingdom?"

"Iya."

Halilintar mendengus, tangannya melempar sampah makanan tepat di dalam tong sampah milik kelas. "Semenjak Raja baru bertahta, Nature Kingdom dipotong dari Kerajaan lain. Nature Kingdom tidak pernah berinteraksi setelahnya. Bahkan para pedagang Kerajaan mengatakan bahwa Nature Kingdom pindah dan tidak menemukan Kerajaan itu dimanapun seolah sudah tertelan bumi. Entah apa yang dipikirkan Raja baru itu."

"Aku yakin ada alasan dibalik menghilangnya mereka, Hali." Gempa memasang muka berpikir sambil menopang kepala.

"Apakah ini bersangkutan soal.." Halilintar mendekat, berniat berbisik. Nafasnya terasa di telinga Gempa, membuat pipinya merona. Halilintar menatap sebentar sebelum berkata lirih. "R.O.S.E dan kejadian itu?"

Gempa berusaha kuat menahan refleks untuk meloncat pergi. Pasalnya, Gempa baru menyadari bahwa suara Halilintar mulai terdengar enak di telinganya. Hampir membuat Gempa berucap, 'Hali, bisakah kau terus berbicara? Suaramu sangat bagus.'

Untungnya, urat malu Gempa masih utuh dan tidak putus seperti urat malu Taufan.

Tanpa diketahui Gempa, Taufan bersin di kelas.

Gempa mencoba memfokuskan diri sendiri. "Itu hanya kecurigaanku, Hali. Aku tidak punya bukti apapun."

"Hmm." Halilintar menjauhkan dirinya, kemudian secara terang-terangan menatap Gempa yang kini mengusap telinganya. Halilintar dapat melihat leher Gempa ikut memerah akibat tatapannya.

"K-kenapa Hali?" Gempa tergagap semakin malu.

"Bukan apa-apa." Halilintar mengalihkan perhatiannya, di dalam hati merasakan rasa senang bermekaran. Halilintar agak bingung, tetapi tidak membenci rasa ini. Seandainya kau tahu apa perasaan itu, Hali.

"Baiklah kalau kau bilang begitu." Gempa melanjutkan topik sebelumnya. "Aku mendapat petunjuk tentang siapa pelaku kedua peristiwa penyerangan keluarga Kerajaan dan itu adalah pengguna kekuatan bayangan. Hanya aku dan Ice yang tahu hal ini."

Jeda sebentar, Gempa menambahkan. "Sekarang kau juga tahu."

Halilintar menaikkan satu alisnya. "Katanya aku ada di list kecurigaanmu?"

"Aku— aku tidak tahu." Gempa menjawab dengan ambigu. Insting Gempa berkata bahwa Halilintar dapat dipercayai.

Halilintar memberi waktu untuk Gempa menenangkan diri. "Mari kita bicarakan lain kali, tempatnya sangat tidak cocok."

"Ah?" Gempa tertegun, segera mengangguk. "Kau benar, seharusnya aku lebih hati-hati."

Gempa menepuk keningnya, kecewa dengan dirinya yang mengendurkan kewaspadaan pada lingkungan sekitar. Halilintar tersenyum tipis, sangat tipis sampai-sampai tidak akan terlihat jika kalian tidak teliti.

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Where stories live. Discover now