Nomor Telepon

649 103 0
                                    

Yaya bersama pengemudi datang lebih cepat dari dugaan, mungkin karena mengkhawatirkan Gempa.

Mereka semua berada di jalan masuk taman. Gempa dan Yaya mengucapkan selamat tinggal pada Halilintar setelah Halilintar menolak ajakan mereka untuk diantar. Diiringi suara mesin menyala, mobil itu bergerak mulus di atas jalan.

Gempa menatap bayangan Halilintar lewat kaca spion mobil. Tepat dibelokan, bayangan Halilintar menghilang terganti bangunan rumah. Gempa mengalihkan perhatiannya.

"Teman baru, Gem? Sekarang kau sudah berteman dengan semua Pangeran, ya." Ucap Yaya santai.

Gempa terkekeh. "Iya, teman baru. Dia terlihat dingin, tapi sebenarnya dia orang yang sangat dewasa."

"Benarkah? Aku tidak tahu tentang itu." Yaya membuka dasboard, mengeluarkan permen manis, tidak lupa memberi Gempa juga.

"Rasa apa ini?"

"Rasa stroberi."

"Oh, terima kasih." Gempa membuka bungkus permen dan meletakkan bungkus itu ke dalam kantong plastik.

Gempa mengernyit saat rasa manis permen di dalam mulut memenuhi indra perasanya. "Ini- ini terlalu manis."

"Terlalu manis untuk lidahmu? Besok aku akan menggantinya." Usul Yaya. Gempa terus mengunyah. "Tidak perlu, ini lebih baik dari permen kemarin."

"Tidak-tidak. Aku akan menggantinya. Kau ingin pesan rasa apa?" Yaya tetap kukuh dalam ucapannya.

"Kalau begitu, coba rasa mint atau lemon saja."

"Oke, ada hal lain?"

Gempa berpikir sebentar. "Bolehkah aku membawa permen ke sekolah?"

"Seharusnya kau cuma boleh membeli makanan di kantin." Yaya meneruskan. "Tapi, kurasa tidak apa-apa jika hanya permen."

Gempa tersenyum hangat. "Terima kasih, Yaya. Kau memang yang terbaik!"

Yaya ikut tersenyum. "Aku tahu."

***

Solar sedang membaca buku ketika handphonenya berbunyi. Tanpa mengalihkan perhatian, tangan Solar hendak menggapai handphone. Namun sebuah pukulan malah mendarat di tangan, membuatnya terkejut. "Aduh! Ying, kenapa kau memukul tanganku?"

Ying mendelik. "Salah siapa tidak langsung pulang ke Istana saat tes penerimaan selesai?"

Solar memutar mata. "Aku bergaul dengan para Pangeran, apakah itu salah?"

"Tidak, tidak salah. Tapi setidaknya beritahu kami kalau kau ingin pergi." Ying menaruh beberapa tumpukan buku di meja yang Solar pakai. Solar menatap risih buku-buku tidak bersalah tersebut. Jika boleh, Solar ingin sekali membakar perpustakaan Light Kingdom.

"Ayolah, aku harus cek handphone sebentar, Ying. Siapa tahu penting?"

Setelah Solar memohon pada Ying, akhirnya Solar bisa mengambil benda persegi miliknya. Solar mengecek notifikasi handphone, satu pesan belum terbaca. Sebuah deretan nomor asing muncul, Solar menaikkan satu alisnya. Nomor siapa ini?

Solar membuka chat nomor asing itu, mengira-ngira bahwa ini penipuan. Walaupun Solar ragu mereka mempunyai nomor seorang Pangeran.

Kata 'Hi!' merupakan chat awal nomor itu. Kemudian, seakan sadar Solar membaca pesan pertamanya, orang di seberang handphone kembali mengetik. 'Ini aku, Taufan!'

Solar membalas chat. 'Oke, aku simpan nomor Kak Taufan.'

'Sip!' Taufan mengakhiri chat menggunakan stiker kucing memberi jempol.

Ying berhenti mengambil buku, kini dirinya menatap aneh pemilik kekuatan cahaya itu. Solar terlihat sedang tersenyum.

"Kau kenapa senyum-senyum begitu? Seperti orang gila." Solar langsung berwajah masam. "Cuma membaca pesan."

"Apakah pacar? Orang senarsis dirimu punya pacar? Tidak mungkin."

"Hei, pikiranmu kejauhan Ying! Siapa pula yang narsis? Aku tahu diriku sangat terkenal." Kaget Solar, meletakkan handphone dan kembali mencoba fokus pada buku.

"Terserah, deh." Ying menjeda perkataannya. "Kalau iya kau mempunyai pacar, jangan sampai para Menteri tahu."

Solar terdiam.

"Solar?" Ying mengingatkan. "Para Menteri akan—"

"Marah besar." Sela Solar. "Mereka terlalu kuno untuk hal ini."

Suara kertas bergeser terdengar diantara kesunyian, Ying berdiri dan melenggang pergi.

Solar mendengarkan langkah kaki Ying menjauh. Manik bagai matahari milik Solar terus menerus mengulang kalimat paragraf sama di dalam hati. Semakin lama semakin membuat frustasi.

Memilih beristirahat terlebih dahulu, Solar menutup buku. Dengan tangan terlipat, Solar mengistirahatkan kepalanya.

Baru saja akan memejamkan kedua mata, cahaya terang muncul dan hilang begitu cepat. Seorang Kakek berusia 60 tahun kini berada tepat di hadapan Solar.

Solar yang mengenal siluet Kakek itu merasa kalang kabut, tubuhnya bergerak cepat. Membenarkan postur tubuh, Solar memberi salam. "Selamat malam, Menteri Gamma."

Gamma melirik tumpukan buku Solar, alis putihnya bertaut. Solar mulai berkeringat dingin. "Saya akan menyelesaikan buku-buku ini secepat mungkin."

Tangan Gamma bergerak, dia meletakkan cup di samping tumpukan buku. Solar berbicara ragu. "Ini..?"

Cup berisi yogurt.

Melihat reaksi lambat Solar, Gamma merasakan matanya berkedut. Gamma menggerakkan tangannya lagi, berniat mengambil kembali. Solar langsung merebut cup itu dari Gamma. "Hahaha, jangan diambil lagi dong, Kek. Sekarang punya Solar."

Gamma mendengus, dengan dramatis dia berbalik. Meninggalkan Solar pada kesunyian perpustakaan.

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt