Bertemu Lagi

620 100 12
                                    

Tunggu, bel sudah berbunyi? Batin Solar bingung.

"Maaf, Bu. Kami akan pergi sekarang, permisi!" Tanpa menunggu lama, Taufan menarik tangan Solar. Menyeretnya ke kelas mereka yang berada di lantai dua, Shad hanya memperhatikan mereka dari jauh.

"Aku tidak mendengar bel sama sekali." Ucap Solar. Taufan mendorong masuk pintu kelas, dalam hati bersyukur guru selanjutnya belum datang. "Mungkin kau terlalu sibuk termenung, makanya tidak dengar."

Storm menangkap siluet Taufan dan Solat dari sudut matanya, dia segera menoleh. "Taufan! Darimana saja tadi??"

Teriakan antusias Storm segera Taufan balas. "Dari perpustakaan."

"Huh? Tumben banget, ngapain?" Alis Storm bertaut.

"Baca buku, lah. Apalagi?"

Solar yang mendengar tidak bisa menahan diri untuk tidak memutar matanya. "Lebih tepatnya Kak Taufan ganggu orang."

"Ohh, gitu rupanya." Goda Storm. Taufan memanyunkan bibir, kemudian mengubah topik pembicaraan.

"Ngomong-ngomong, memangnya guru sekolah diperbolehkan mewarnai kuku mereka dengan kuteks??" Taufan berjalan ke bangku kosong terdekat dan mendudukinya. Mumpung gurunya belum datang. Murid kelas juga sedang sibuk urusan mereka masing-masing.

Storm duduk di bangkunya, kebetulan dia dan Solar sebangku. "Ah? Mana aku tahu soal itu?"

Solar memotong percakapan mereka. "Bukannya kau anak Kepala Sekolah di sini?"

"Itu tidak berarti aku hapal peraturan guru, ya!" Sungut Storm, lalu lanjut bercakap. "Memang siapa gurunya, Fan?"

"Tadi, Bu Shad. Aku tidak sengaja lihat. Kalau tidak salah, sepertinya Pak Ian juga menggunakan kuteks hitam sama seperti Bu Shad." Taufan mendapat ide. "Jangan-jangan mereka itu pasangan?—"

"Bicara sembarangan. Pak Ian sudah punya istri!" Sela Storm, agak kasihan pada sang guru olahraga karena menjadi bahan gosip Taufan.

Mendengar itu, Taufan semakin menjadi-jadi. Malahan Taufan menambah kesan dramatis, dirinya berpura-pura terkesiap. "Atau Pak Ian selingkuh?!"

"PFFT— Woi, parah!!" Tawa Storm meledak keluar. "Untung teman, kalau tidak sudah aku lempar keluar kelas!"

"Hehehe, bercanda."

Solar mengabaikan percakapan tidak berguna antara Storm dan Taufan.

Di kelas 1A, Egidiana sedang mencorat-coret halaman belakang bukunya. Sesekali dia berbincang bersama Gempa, berakhir dirinya menerima tatapan tajam Halilintar dari belakang bangku.

Halah-halah, cemburu ternyata. Jadian saja belum. Pikir Egidiana dan terkekeh kejam dalam pikiran.

Disertai wajah datar bagaikan papan setrika, Egidiana bertanya lagi. "Gem, kau sudah punya pacar?"

Pertanyaan Egidiana mengejutkan Gempa, sampai-sampai dia tergagap malu. "Pa-pacar? Tentu saja aku tidak punya!"

Entah khayalannya atau tidak, Egidiana dapat mendengar helaan nafas lega. Egidiana yakin itu suara Halilintar.

Rona merah mulai menjalari pipi Gempa, dia menjelaskan. "Aku terlalu sibuk untuk memikirkan hal semacam pacar ataupun sejenisnya. Kemungkinan besar, aku tidak akan mengurus hal itu saat ini."

"Sayang sekali. Aku dengar dari rumor, banyak perempuan yang ingin bertunangan atau sekedar dekat denganmu?" Ucap Egidiana memanas-manasi Halilintar.

"Ahaha, itu.."

"Bisa diam, tidak? Kau membuat Gempa tidak nyaman." Setiap kata Halilintar penuh penekanan.

"Gempa tidak nyaman atau kau tidak nyaman?" Tuduh Egidiana. Dalam hati Egidiana mengangguk setuju. Seorang gentleman bagi orang yang disukainya, perilaku bagus.

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang