Waktu Tambahan

628 94 2
                                    

"Bersulang! Mari rayakan penerimaan kita dengan minum-minum, hahaha!" Taufan mengangkat boba milk.

"Bersulang!!" Storm ikut bersulang bersama Taufan.

"Jangan diminum dulu, Kak. Sini aku foto, biar aku jadikan status sosial media." Solar mengarahkan kamera handphone.

Halilintar menatap Gempa dan bertanya. "Apakah tidak apa kita membiarkan mereka seperti itu?"

Gempa tertawa pelan. "Tidak apa, Hali. Terkadang kau terlalu serius ketika menghadapi suatu hal."

Halilintar mendesah pasrah. "Mereka tidak pernah serius."

"Mereka bisa serius jika sudah waktunya." Tangan Gempa berusaha meraih sendok, Halilintar membantu mengambilkan. "Terima kasih."

"Sama-sama." Halilintar meminum latte pesanannya.

Storm memakan buah leci di gelas. "Kalian mau tukar nomor? Sekalian buat grup chat, kelas kita ternyata berbeda."

Solar mengangguk. "Boleh, Kak. Mana handphone kalian? Aku mau scan code saja agar lebih cepat."

"Aku tidak membawa handphone. Aku kira semua orang juga tidak membawa." Taufan mengucapkan kalimatnya dengan penuh penyesalan.

Storm menggeleng. "Anak muda mana tidak membawa handphone mereka saat berpergian?"

"Aku.."

Solar, Storm, dan Taufan menoleh. Mendapati Gempa mengangkat tangan, senyuman malu terpasang di bibir merah mudanya. "Sebenarnya, aku tidak membawa handphone."

"Sama." Tambah Halilintar di samping Gempa.

Taufan menjentikkan jari. "Yay, aku tidak sendiri!"

Solar menatap ngeri pada mereka bertiga. Bagaimana Kakak-kakak ini bisa melakukan itu? Tidak bisa memegang handphone selama satu jam bagi Solar adalah siksaan terberat, apalagi tidak membawa sama sekali.

Gempa menyendok es krim vanilla. "Kenapa kau tidak membawa handphonemu, Hali?"

Halilintar terdiam sebentar mendengar pertanyaan Gempa, dirinya berucap. "Malas."

"Alasan klasik. Ice sering menggunakan alasan itu."

Storm bicara terburu-buru. "Jadi benar, Gempa dan Pangeran Ice sering bertemu?"

"Iya, kami sering bertemu." Gempa tersenyum. "Ice adalah penerus Raja yang sebenarnya, tapi karena umurnya masih muda dia tidak bisa mengambil gelar itu-"

Storm segera melambaikan kedua tangan dengan kencang. "G-gempa, jangan dilanjutkan. Aku tidak ingin mendengar apapun soal Kerajaan."

"Oh? Begitukah." Gempa memakan es krim vanilanya, Storm mengangguk cepat, hampir membuat dirinya sendiri pusing. "Aku ingin berkehidupan normal, Gem. Aku tidak ingin membuat diriku pusing akan persoalan pemerintahan."

Gempa memberi pengertian. "Baiklah, lagipula aku cuma bercanda."

"Hahahaha.." Storm tertawa canggung.

Solar memecah kecanggungan antara Gempa dan Storm. "Mana handphonemu, Kak Storm?"

Storm menepuk keningnya. "Aduh, hampir lupa. Nih, Solar." Storm merogoh kantong seragam dan mengeluarkan handphone, kemudian dia berikan ke Solar.

Solar segera scan kode milik Storm. "Oke, sudah."

"Sip, terima kasih Solar!" Seru Storm.

Mereka lanjut mengobrol sampai langit biru berubah menjadi jingga.

Storm dan Solar sudah pulang terlebih dulu. Taufan melirik Gempa dan Halilintar. "Kalian yakin tidak mau naik hoverboardku?"

"Aku bisa cari Telephone Box sekitar. Juga, kurasa hoverboardmu tidak muat dinaiki tiga orang, Taufan." Gempa mengingatkan.

Taufan menepuk kepalanya. "Iya, ya. Kalau gitu aku pergi dulu. Bye Gempa, bye Hali!"

Dengan mudah Taufan menaiki hoverboardnya, dirinya segera meluncur di udara. Gempa sekarang memperhatikan Halilintar sambil memakai masker putih. "Gimana kalau kita ke taman? Biasanya ada Telephone Box di sana."

Tanpa menunggu jawaban Halilintar, Gempa mulai berjalan. Seakan-akan dirinya hanyalah orang biasa, bukan Pangeran Mahkota. Halilintar tidak mempunyai pilihan lain, dia mulai mengikuti Gempa, tidak lupa dia juga menggunakan masker hitam dan sebuah topi.

Taman sore ini tidak ramai, lumayan sepi dari hari biasa. Halilintar menanyakan hal yang menggangunya sedari tadi. "Tadi.."

"Ya?" Gempa mempersilakan Halilintar untuk meneruskan.

"Kau sedang menguji Storm?" Pertanyaan Halilintar membuat langkah kaki Gempa tersendat. "Sejelas itu?"

"Tidak."

"Lalu bagaimana kau bisa tahu?" Gempa mendekat, penasaran akan jawaban Halilintar.

"... Dari senyumanmu."

Gempa mengerjap. "Apa?"

Halilintar menjelaskan. "Terakhir kali kita bertemu. Saat [Alethio] selesai, kau juga tersenyum seperti itu."

Senyuman Gempa satu itu sangat dingin, tidak memancarkan kehangatan yang selalu ada disekelilingnya. Namun jika dilihat, senyum itu sama dengan senyum Gempa pada umumnya. Tidak membuat siapapun merasa aneh ataupun curiga.

"Ah, Hali, kau sangat teliti. Padahal itu kejadian lama." Gelak tawa Gempa mengisi kekosongan diantara mereka. "Kalau kau tidak memperjelasnya, aku akan mengira kau sedang menggodaku."

"Maaf." Halilintar segera meminta maaf pada Gempa, manik ruby miliknya terpaku pada jalanan.

"Tidak, tidak apa-apa. Kau tidak perlu meminta maaf." Gempa menepis permintaan maaf Halilintar.

Manik gold Gempa memperhatikan pemandangan taman. "Kau benar, aku menguji Storm."

"Hasilnya?" Halilintar ikut memandang taman sambil berjalan berdampingan bersama Gempa. Halilintar berusaha membuang pikiran yang terus menerus memberitahunya bahwa dia lebih tinggi dari Gempa.

"Aku tidak bisa memastikan untuk saat ini."

.

.

.

~ Pojok Author ~

Halo! Ketemu lagi sama Author Hex! Terima kasih sudah membaca sampai sini dan meninggalkan jejak, Author benar-benar menghargai itu semua.

Dan, siapa hayo yang gak nyangka ternyata cerita ini lebih ke plot daripada romansanya? Sama, Author yang nulis juga bingung. 🧍

Yah, kita lihat saja seterusnya kayak gimana, ya.

Juga, terima kasih khusus untuk:

1. R4F1L4H
2. Dea9685
3. Lia_minn
4. faufau_wuuu
5. misa_lestari3700

Sampai ketemu di chapter selanjutnya! Cyaaa! ;D

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu