Ujung Tebing

715 72 12
                                    

Blaze panik, dia segera menarik tangannya dan duduk. Tanpa sengaja membangunkan serta menjatuhkan Ice dalam prosesnya.

Si paling ceroboh, memang.

"Aduh! Blaze, kau ngapain, sih? Ganggu tidurku saja!"

"Shit— maaf-maaf!! Aku tidak sengaja!" Blaze buru-buru membantu Ice berdiri, tidak lupa mengecek kondisi Ice. Takutnya terjadi apa-apa pada Ice, Blaze mengutuk dirinya sendiri di dalam hati. "Ada yang sakit? Memar? Atau berdarah?! Ayo temui Dokter Medi sekarang!"

Ice memberinya tatapan seolah-olah Blaze sudah tumbuh kepala tiga alias orang tua yang selalu mengkhawatirkan kondisi anak mereka. "Jangan berlebihan. Aku tidak perlu bertemu Dokter Medi. Kau kira aku baru jatuh dari gedung lantai lima, kah?"

Meski Ice bilang begitu, Blaze masih saja khawatir. "Serius kau tidak apa-apa??"

"Serius! Apa perlu aku buka baju dan tunjukkan padamu kalau aku benar-benar tidak apa?"

Jika saja Blaze tidak mengingat apa yang telah dia perbuat, dia pasti mengiyakan ucapan Ice. Sayangnya takdir berkata lain. Blaze menggeleng kuat. "Tidak! Tidak perlu!!"

Kedua alis Ice terangkat, merasa lucu juga agak heran. "Oke?"

Ice kembali berbaring membuat Blaze bingung. Blaze bertanya. "Kau mau ngapain, Ice?"

"Ngapain apa? Ya lanjut tidur lah, masih perlu tanya?" Keluh Ice memutar mata. Blaze sedikit speechless. "Pukul segini?"

"Memang sekarang pukul berapa?"

Blaze memperhatikan jam di dinding. "Pukul empat lebih tigapuluh lima menit. Bentar lagi waktunya makan malam. Kau yakin mau lanjut tidur?"

Tangan Ice mengambil bantal, lalu menekan bantal itu ke telinga. Berusaha menghalangi suara Blaze namun nihil hasilnya. "Yakin, sudah diam sana!"

Melihat Ice yang bersikap normal, Blaze mau tidak mau merasa curiga. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak melontarkan beberapa pertanyaan lain.

"Ice, kau— emm, gak ingat apa-apa?"

"... Ingat apa?"

Blaze duduk di pinggir kasur, tidak tahu harus mulai dari mana. "Ingat.. kejadian itu."

Ice, "...."

Kalau ngomong bisa gak, gak dipotong-potong gitu? Memangnya buah dipotong?

"Ice— Oof!!" Blaze tidak sempat menangkap bantal yang dilempar Ice ke wajahnya.

"Berisik, aku mau tidur! Bicaranya nanti saja." Ice menarik ujung selimut sampai menutupi separuh wajahnya, meninggalkan mata yang tertutup. ".. juga, aku gak tahu apa yang kau bicarakan."

Apa Ice berbohong atau berkata yang sebenarnya? Batin Blaze. Tapi gak mungkin Ice lupa apa yang aku perbuat. Apa mungkin Ice gak mau merasa malu? Padahal aku ingin sekali minta maaf. Kalau sudah begini gak mungkin aku ungkit, kan? Gimana kalau Ice ngerasa gak nyaman??

Blaze menghela nafas berat, menaruh bantal tadi kemudian dia berdiri. Namun baru satu langkah Blaze berbalik lagi. "Hei, Ice?"

"Apalagi sih?!" Kesal Ice, kepalanya masih ditutupi.

"Kau mau aku bawakan makanannya ke sini atau bagaimana..?" Tanya Blaze, merasa bersalah terus-menerus mengganggu tidur Ice selama kurang lebih lima menit.

"Kau baru saja sembuh. Lagipula ini Istanamu, kenapa jadi kau yang melayaniku?"

"Aku ingin saja. Justru aku tidak tahan kalau tidak gerak, kau tahu itu."

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang