Perisai Jitu

482 65 22
                                    

"Kenapa Kak Gempa mengatakan hal itu ke Kak Hali?" Tanya Solar. "Si tiang listrik terdengar sakit hati, aku jadi merasa iba."

"Tumben sekali perhatian." Celetuk Taufan tidak bisa menahan diri.

"Diam, Kak Taufan. Aku tidak butuh pendapat Kakak." Ucap Solar sambil memutar matanya. "Kak Gempa juga bilang kalau Kak Hali menyembunyikan sesuatu, apa maksud Kak Gempa?"

Gempa menghela nafas panjang. "Kemarin sore, saat terjadi penyerangan, aku dan Hali sedikit berargumen setelah kalian semua pergi."

Taufan menutup mulutnya yang menganga lebar saking betapa terkejut dirinya. "Kalian berargumen? Bentar-bentar, kalian bertengkar?! Padahal kalian sangat dekat dan tidak pernah bertengkar tentang apapun sama sekali!"

"Rasanya tidak tepat memanggilnya bertengkar, ini lebih tepat disebut berargumen karena argumen itu tidak diawali sebab kami saling marah melainkan sebab kami saling khawatir."

"Oh, ternyata seperti itu. Berarti sama dengan kejadian ini."

"Begitulah." Gempa menundukkan kepalanya, emosi bernama rasa bersalah sedikit demi sedikit menggerogoti hati serta pikirannya. "Aku tidak ingin Hali tertinggal sendirian, takut dia kenapa-napa. Sayangnya Hali berpikiran hal serupa, menyebabkan dimulainya argumen tersebut di antara kita. Kami berargumen tidak terlalu lama, Hali memutuskan untuk melakukan taruhan. Kami menelepon supir istana secara bersamaan. Siapapun yang diangkat terlebih dahulu, harus pulang."

"Hmm, biar aku tebak. Kak Gempa pulang duluan?" Solar berkacak pinggang.

"Kau benar." Jari Gempa mengetuk-ngetuk di atas meja taman. "Kami berpelukan untuk terakhir kalinya hari itu, namun ada satu hal tak diketahui oleh Hali. Aku melirik handphone-nya."

"Lalu?? Kau melihat apa, Gem??"

Meski Gempa sedang menunduk, Taufan dan Solar dapat mengintip ekspresinya. Wajah Gempa terlihat ingin tertawa penuh miris disertai ironi. "Rupanya dia tidak menelepon supir istana Thunder Kingdom. Deretan angka di layar handphone-nya merupakan nomor lama yang sudah tidak aktif."

"Auch." Taufan meringis. "Hali brutal sekali berbohong-nya."

Solar mengernyitkan keningnya. "Pasti ini adalah alasan Kak Hali membalas lama pesan kalian, dia mungkin melakukan sesuatu setelah kita semua tidak ada di sana."

"Itulah kenapa aku tidak mau Hali ikut rencana kita. Dia sering membahayakan dirinya sendiri. Aku.. takut dia terluka lagi karena diriku." Perkataan terakhir Gempa lirih. Namun, dua teman di hadapannya bisa mendengar itu.

"Jangan menyalahkan dirimu, Gempa. Itu salah Hali jika dia memiliki sifat keras kepala." Solar mengangguk setuju atas ucapan Taufan.

"Tapi tetap saja, rasa bersalah ini.. tidak mau menghilang." Gempa meletakkan telapak tangannya di depan dada, ekspresi wajahnya sendu.

Solar dan Taufan saling bertukar pandang. Seakan-akan paham Gempa mulai merasa tidak nyaman, Taufan berusaha mengubah topik.

"Jadi, soal rencananya.."

"Oh, kau benar. Maaf aku terbawa suasana sampai-sampai lupa tujuan awal kita kemari." Gempa beranjak berdiri. Mereka mengikuti pergerakan Gempa.

"Tidak apa-apa, Gem. Kita kan, sahabat dekat selamanya. Kalau kau ada masalah, kau boleh bercerita dengan kami. Jangan merasa kau merepotkan kami."

"Terima kasih, Taufan." Tatapan Gempa menajam. "Aku akan memberitahu kalian tentang rencananya sekarang, dengarkan secara baik-baik sebab aku tidak akan mengulangi lagi."

"Tentu, tolong jelaskan, Kak Gempa."

"Pertama, kita perlu beritahu Pak Soile secepat mungkin."

Taufan menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Uh, apa kau yakin Pak Soile tidak bekerjasama dengan mereka?"

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Where stories live. Discover now