Terus Terulang

670 106 3
                                    

Suara bel menjadi penanda dimulainya kelas pertama bagi murid kelas dua dan tiga Highschool R.O.S.E, sementara kelas satu baru harus berdiri di lapangan sekolah.

Ya, seperti yang kalian pikirkan, mereka sedang melakukan MPLS. Atau bisa juga disebut masa pengenalan lingkungan sekolah.

"Tolong berbaris dari paling tinggi di depan, paling pendek di belakang." Ucap sang Ketua Osis.

Solar seketika membatin. Bukannya kebalik, ya?

Tapi karena ini perintah Ketua Osis, Solar mau tidak mau mengikuti. Walaupun dua tahun lebih muda dari murid lain, tinggi Solar sama dengan tinggi Taufan yang berumur tujuh belas tahun. Membuat laki-laki bermanik biru laut itu lumayan iri.

Gempa mengikuti arahan, dia mendapati dirinya dibelakang Halilintar. "Oh, pagi Hali!"

Halilintar menoleh, mata ruby miliknya menangkap mata gold Gempa. Mata Halilintar melembut. "Hm, pagi."

"Bagaimana pagimu? Sudah sarapan?"

"Aku belum sarapan." Halilintar menjeda perkataannya. "Tidak sempat. Aku bangun agak siang."

"Sayang sekali," Gempa menghela nafas. "Nanti makanlah di kantin."

"Iya."

Sang Ketua Osis menepuk tangannya sekali untuk menarik perhatian para murid. "Selamat pagi semuanya! Perkenalkan namaku Maharani, Kakak selaku Ketua Osis juga panitia pelaksana MPLS akan menemani dan membimbing kalian para murid baru dalam tiga hari ini!"

Salah satu murid mengeluh. "Kenapa MPLS cuma tiga hari, Kak? Biasanya empat hari."

Tunggu, bukan salah satu murid, ternyata itu suara Taufan. Untung Maharani orang penyabar. Kalau tidak, sudah dipastikan Taufan akan ditimpuk pakai penggaris kebenaran milik Papa Zola.

Maharani menjawab bingung. "Dikurangi satu hari ngeluh?"

"Eh? Memangnya apa bedanya tiga hari sama empat hari, Kak?"

"Sama saja. Tapi yang satu lebih cepat, yang satu lagi lebih lama."

"Ohh, oke. Terima kasih penjelasannya, Kak!"

Maharani memijit keningnya, merasa tenaganya dikuras bersih bila berinteraksi dengan Taufan. "Tidak ada pertanyaan lain? Mari kita lanjutkan sesi pertama, keliling sekolah dan memasuki kelas sementara selama MPLS."

Lapangan dimana mereka berada saat ini terletak di samping sekolah. Sementara sekolah itu sendiri memiliki dua lantai dan sebuah ruang guru di tengah. Mereka mulai menginjakkan kaki di gerbang masuk sekolah, angin sejuk dari taman sekolah seakan-akan menyambut mereka.

Mereka mengelilingi sekolah seperti ucapan Maharani lalu memasuki kelas masing-masing.

Gempa dan Halilintar merupakan teman sekelas. Karena sudah saling mengenal, mereka sepakat untuk duduk satu bangku sampai kegiatan MPLS selesai.

Sialnya kelas Solar, Storm, dan Taufan berada tepat di atas kelas mereka.

Beruntungnya dinding sekolah adalah dinding soundproof. Mau seberisik apapun combo Taufan-Storm nantinya, tidak mungkin terdengar ke kelas mereka berdua.

"Kau mau duduk di sebelah mana, Hali?" Tanya Gempa, Halilintar berkedip. "Apa aku boleh duduk dekat jendela?"

Gempa terkekeh. "Tentu saja boleh, untuk apa aku melarangmu."

Halilintar duduk di dekat jendela di bangku kedua dari depan, Gempa mengikutinya.

Maharani memastikan semua murid duduk sebelum kembali berkata. "Oke, sekarang kita lanjut sesi perkenalan."

Tangan Maharani mengeluarkan kertas berisi daftar nama-nama murid kelas 1A. "Adrius, silakan maju ke depan dan memperkenalkan diri."

Pemuda bernama Adrius berdiri, dia secara singkat mengenalkan namanya dan kekuatannya yaitu element petir, setelah itu beranjak kembali. Namun kerahnya ditahan Maharani. "Eitss, segitu doang?"

"Memang harus tambah apa, Kak?"

"Hobi atau makanan kesukaan boleh. Siapapun yang tidak menambah apa-apa diperkenalkannya akan Kakak beritahukan pada guru BK."

Adrius langsung merinding. "Aku alergi bunga."

Murid-murid bergantian memberi perkenalan sampai jam istirahat berbunyi. Mendapat izin Maharani, mereka berhamburan keluar kelas.

"Ayo keluar, Hali. Nanti kau kehabisan makanan di kantin." Ajak Gempa. Halilintar menyipitkan mata sambil meletakkan kepalanya di atas lengan terlipat. Jujur, Halilintar masih belum terbiasa. Memang karena dia baru berada di sini beberapa jam.

Rasanya tidak nyaman.

"Aku tidak pergi dulu." Halilintar menimang-nimang kata. "Maaf, Gempa. Aku merasa tidak enak."

Gempa memakluminya. "Tidak apa, kau tidak perlu minta maaf. Kalau begitu aku keluar duluan, ya."

Halilintar menyaksikan punggung Gempa menjauh. Mungkin Gempa ingin bertemu dengan temannya yang lain, Solar, Storm, dan Taufan. Perlahan kelopak matanya menyembunyikan manik ruby. Halilintar sangat senang memiliki teman pengertian seperti Gempa.

Gempa mempunyai sifat penurut. Tetapi jika sudah waktunya serius, dia akan lebih serius dari yang lain. Bahkan bisa menjadi pemimpin handal nan tegas.

Halilintar dapat merasakan kekagumannya meningkat berkali lipat ketika menghadapi Gempa secara langsung.

Seolah-olah Gempa tidak akan pernah bisa membuatnya tidak terkejut.

Ah, telinga Halilintar mulai memerah. Halilintar segera menutupi wajahnya dibalik lengan, takut seseorang sadar.

Halilintar punya harga diri yang harus dijaga, tahu.

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Where stories live. Discover now