Permen Lemon

836 116 2
                                    

Bel pergantian waktu pembelajaran berbunyi.

Gempa mendapati Halilintar menghela nafas lega, tangan Gempa bergerak untuk memasukan kertas berisi tulisan jadwal ke dalam tas. Dirinya tidak tahan untuk tidak bertanya. "Kau kenapa, Hali?"

Halilintar menoleh, jarinya menunjuk Taufan yang berada di lapangan. Saat ini Taufan sedang berjalan riang ke arah gerbang sekolah, berniat masuk. "Aku lelah setiap lihat keluar jendela ketemu wajah Taufan daritadi."

Halilintar melanjutkan sambil menggelengkan kepala. "Hari pertama sudah dihukum saja, dia sangat ceroboh."

Gempa terkekeh menyimak keluhan Halilintar.

"Baiklah, kalau begitu Bu Bubble pergi dulu, ya. Guru lain akan datang kesini beberapa menit lagi. Sampai jumpa!" Bubble melambaikan tangan, sifat ramahnya bagaikan menguar dari setiap gerakan tubuh.

"Sampai jumpa, Bu Bubble!" Murid kelas menjawab serempak.

Memastikan semua murid sudah membalas, Bubble melenggang pergi. Tidak lama kemudian, seorang guru familiar masuk. Iya, guru itu adalah Bu Tania.

"Selamat siang, apakah kalian sudah menulis jadwal?" Tania mendengarkan penjelasan salah satu murid di bangku depan. "Sudah, ya. Bagus. Seseorang maju ke depan, tolong bersihkan papan tulis."

Tania secara monoton duduk di kursi khusus guru. Merasa tidak ada yang maju, Gempa mengajukan diri untuk membersihkan papan tulis. Huh, mungkin karena guru ini memiliki sifat serius, semuanya jadi agak takut. Yah, walaupun aku ragu Halilintar juga takut.

Selesai menghapus, Gempa hendak kembali duduk, namun Tania menghentikan Gempa. "Bisa sekalian tuliskan jadwal pengambilan paket?"

Gempa tersenyum canggung, meraih kertas di tangan Tania. "Bisa, Bu. Tapi tulisan saya agak berantakan."

"Tidak apa-apa, yang penting bisa dibaca." Gempa menuruti perintah Tania. Setelah selesai, Tania memberikan tatapan puas. Tania memperbolehkan Gempa duduk.

Tania baru saja akan berdiri ketika ballpoint dimeja terjatuh. Tania berjongkok untuk mengambil ballpoint, tubuhnya terhalang meja.

Tepat saat itu, Taufan mengintai kelas 1A melalui jendela. Dari posisi Taufan, dirinya tidak dapat melihat Tania sama sekali. Taufan mengeluarkan senyuman jahil.

Tania bangkit dengan ballpoint di tangan dan Taufan mendobrak masuk pintu kelas. "Gempa! Aku minta permennya!"

Semua itu terjadi bersamaan. Para murid, Gempa, dan bahkan Halilintar, menyaksikan kengerian terjadi tepat di depan mata mereka.

Taufan sadar kesalahannya, wajahnya berubah ketakutan. Taufan memaksakan sebuah tawa. "E-eh.. He. Halo, Bu Tania. Kita ketemu lagi, hehe.."

"Taufan. Kembali ke lapangan, sekarang."Tegas Tania. Saking takutnya Taufan memberi hormat. "Siap, laksanakan!"

Taufan dalam sekejap mata menyelonong pergi tanpa membuang waktu. Kini perhatian Tania berganti. "Gempa, kau bawa permen ke sekolah?"

Gempa menggigit dalam bibirnya, berusaha menguatkan mental. "I-"

"Itu aslinya permen saya, Bu." Halilintar memotong perkataan Gempa.

Gempa lekas menarik seragam Halilintar dari bawah meja, menyuruh Halilintar berhenti. Halilintar tidak menggubris kode Gempa. "Lagipula, cuma permen. Apa Bu Tania ingin menghukum saya?"

Gempa merasa ingin pingsan saat itu juga. Bukannya diam, Halilintar malah melunjak!

Tatapan tajam Halilintar bagai menjanjikan tusukan ribuan pedang. "Bu Tania berani hukum Pangeran Pertama Thunder Kingdom?"

Tania menggertakkan gigi. "Menggunakan identitas Pangeran Pertama agar terlepas dari masalah. Pangeran Halilintar memang berbeda dari Pangeran lain."

Seolah tidak terjadi apapun, Tania kembali duduk dan membuka laptopnya.

Gempa merilekskan tubuhnya yang entah sejak kapan duduk tegak. Tangannya masih memegangi ujung seragam Halilintar. Terpacu adrenalin, Gempa mencicit pelan. "Terima kasih, Hali."

"En." Halilintar membiarkan Gempa memegang ujung seragam. Halilintar mencoba sekuat mungkin menyingkirkan perasaan senang karena Gempa mengandalkan dirinya.

Gempa melirik Tania, yakin guru itu tidak menatap penuh dendam pada Halilintar. Gempa menanyakan suatu hal ganjal. "Kenapa kau tidak berkata seperti itu ketika Taufan masih di sini? Siapa tahu dia tidak akan kena hukuman lagi."

"Siapa suruh dobrak pintu keras-keras?" Halilintar menaikkan satu alisnya. "Salahnya sendiri, kan."

Gempa menghela nafas. "Iya, sih. Tapi aku masih merasa bersalah. Lain kali aku traktir, deh."

Mata Halilintar berkedut. "Hanya kau dan Taufan?"

"Ah? Tentu saja tidak. Aku juga mengajakmu, Hali." Gempa mengucapkannya dengan polos.

Halilintar berkedip. Satu kali, dua kali. Halilintar membuang muka. Gempa menjadi bingung. "Kenapa, Hali? Kau tidak ingin ikut?"

"Tidak." Datang jawaban cepat Halilintar. Takut Gempa salah mengartikan, Halilintar menjelaskan. "Aku ikut."

"Baiklah." Tanpa melihat sekalipun, Halilintar tahu Gempa sedang tersenyum hangat seperti biasa. Halilintar ikut tersenyum memikirkannya.

Namun senyuman itu berubah kaku ketika manik ruby Halilintar lagi-lagi menangkap Taufan melambaikan tangan pada Solar di depan tiang bendera. Terpampang kalimat 'serius, kau dihukum lagi, Kak? Apa yang kau lakukan saat waktu pergantian guru tadi?' di wajah Solar.

Mendapat tatapan Solar, Taufan hanya menggaruk pipi.

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin