Kegelapan Total

714 100 1
                                    

Solar menerangi jalan depan. Terlihat jalan bercabang seperti yang dikatakan Gempa.

Ketiga jalan ini merupakan tangga menurun, ketika mereka mengeceknya, kegelapan tidak berujung menyapa mereka.

"Huh?" Solar mengeluarkan suara bingung. "Bahkan Bola Cahaya tidak bisa menetralisir kegelapan ini?"

Solar menggerakkan tangan, Bola Cahaya bergerak sesuai perintah. Namun, Bola Cahaya bagaikan tertelan kegelapan ketika berada di tengah tangga.

Mereka semua sunyi melihat kejadian itu

"... Entah kenapa aku jadi teringat film horor." Canda Storm.

Taufan mengejek Storm. "Kenapa, Storm? Kau takut?"

"Aku bukan penakut, ya. Aku hanya mudah kaget. Aku juga tidak pernah berteriak." Tegas Storm. "Bagaimana denganmu, Solar? Apakah kau penakut?"

Solar yang ditarik paksa pada obrolan mereka hanya bisa mengalah. "Aku Pangeran dari Light Kingdom. Aku tidak percaya hal seperti itu, sains lebih masuk akal, lebih logis."

"Tapi di dunia ini pasti ada kejadian yang tidak bisa dijelaskan oleh sains, Solar." Sela Taufan.

Sementara mereka bertukar pendapat, Gempa meletakkan kembali tangannya ke tanah, berusaha merasakan apapun di bawah sana.

"Bagaimana, Gempa?" Halilintar mendekat secara perlahan, tidak ingin mengganggu konsentrasi Gempa.

Gempa membuka kedua matanya untuk menatap gelisah pada Halilintar, dia kemudian menggeleng. "Aku tidak bisa merasakan apapun. Seolah-olah ada sesuatu menyelimuti tanah."

Tatapan Halilintar menjadi tajam. "Apa peserta lain berusaha menghalangi kita?"

Gempa kembali menjawab. "Aku tidak bisa memastikannya."

Selesai berucap, Gempa berdiri dan menyuruh mereka berkumpul. "Tidak ada pilihan lain, kita cuma bisa memilih salah satu dari tiga tangga ini."

Solar mempertanyakan keraguannya sambil meletakkan jari telunjuk dan ibu jari di bawah dagu. "Walaupun kita tidak tahu apa yang ada di ujung tangga?"

"Sayangnya, iya." Gempa meneruskan. "Kalian ingin pilih tangga mana?"

Seketika mereka semua menunjuk pada tangga berbeda.

"..."

Storm mengusulkan. "Kanan saja. Menggunakan tangan kanan dikenal sebagai pertanda baik."

Solar memasang muka datar. "Tapi ini jalan."

"Bukankah kepercayaan semacam ini bisa diaplikasikan ke situasi seperti ini?" Sahut Storm.

"Memangnya kau ibu-ibu?" Taufan mengusulkan hal lain. "Bagaimana kita lakukan cap cip cup saja?"

Halilintar tidak tahan percakapan mereka bertiga. "Ini tes, jangan main-main."

Seolah tidak mendengar, Taufan mulai bernyanyi. "Cap cip cup kembang kuncup, pilih mana yang mau di cup! Ha! Ayo pilih tengah!"

Halilintar menengok Gempa, tulisan 'aku mulai lelah, mari ikuti mereka saja' terpampang jelas di wajahnya. "Baiklah, ayo pilih tangga tengah. Solar bisa di depan? Walaupun kau bilang Bola Cahayamu tidak bisa menetralisir kegelapan, setidaknya kita coba saja."

Solar mengangguk. "Iya, Kak Gem."

Solar menuruni tangga, diikuti Taufan dan Storm. Selanjutnya Gempa, terakhir Halilintar.

Gempa tidak bisa berhenti berpikir tentang apa alasan dibalik kekuatan Solar tidak mempan. Apakah ada kaitannya dengan kekuatan bayangan?

Tepat di tengah tangga, kemampuan Bola Cahaya lenyap. Solar menghilangkan Bola Cahaya yang tidak berguna itu dan terus berjalan menuruni tangga.

"Uwaa, gelap sekali." Keluh Taufan. Kedua tangannya bergerak untuk memegang pundak Solar dari belakang, membuat Solar risih. "Jangan pegang pundakku, Kak."

"Kau ingin aku jatuh??"

"Uh, tidak. Jika kau jatuh, ada kemungkinan tubuhmu itu akan menimpaku. Kak Taufan berat."

"Sebenarnya itu ide bagus." Solar dan Taufan mendengar perkataan Gempa. "Saling berpegangan akan menurunkan kemungkinan kita berpencar saat kita sudah berada di bawah."

Storm setuju. "Gempa benar."

Dia lantas memegang ujung seragam Taufan, Gempa memegang ujung seragam Storm. "Hali?"

Halilintar merasa canggung. "Aku tidak perlu berpegangan."

"Apa yang kau katakan? Ini untuk kebaikan kita juga." Gempa meraih tangan Halilintar, sang pemilik tangan pasrah ditarik oleh Gempa.

Telinga Halilintar merona merah saking malu. Untungnya, kegelapan membantu menyembunyikan rona merah itu. Halilintar mengatur ekspresi wajah agar terlihat tidak peduli.

Hawa lembab dari labirin tanah tidak membantu sama sekali. Taufan merasa kedinginan hanya dalam waktu tiga menit. "Sebenarnya sepanjang apa tangga ini? Rasanya seperti satu abad."

"Kak Taufan berisik."

"Hei! Aku kan, cuma bosan."

"Mulut Kak Taufan tidak bisa diam sebentar ya— kita sampai!" Ujar Solar. Taufan dan Storm melepaskan tangan mereka.

Solar kembali mengeluarkan Bola Cahaya dan menemukan bahwa Bola Cahaya bisa dipakai lagi. Dia juga terkejut mendapati punggung seseorang enam meter darinya. "Hei! Kau sudah ada di sini daritadi?!"

Taufan ikut terkejut sambil mendekati Solar. "Apa?! Apakah mereka dapat benderanya?"

Storm segera menambahkan dari samping. "Berarti sia-sia kita ke sini?"

Mereka berbicara lumayan keras, membuat orang itu berbalik.

Ah, tidak. Bukan orang itu, tetapi kepala orang itu berbalik menghadap mereka, sementara tubuhnya tetap diposisi semula.

Sontak Taufan memeluk Solar.

"AAAAHHHHHHH!!!!"

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Where stories live. Discover now