Kekacauan Dapur

444 77 1
                                    

Halilintar buru-buru mengemasi barang-barang miliknya setelah mendengar suara bel sekolah berbunyi, gerakannya tak luput dari pandangan Gempa. Tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, Gempa berkata. "Ada apa, Hali? Kau terlihat seperti dikejar oleh waktu."

"Tidak ada apa-apa. Hanya ingin pulang lebih cepat hari ini." Jawab Halilintar. Dia beranjak berdiri melihat Bu Tania sudah keluar kelas.

Padahal kau selalu pulang lebih lambat untuk bisa mengobrol lebih lama lagi denganku. Gempa tidak mengatakan apa yang ada di pikirannya. Merasa ucapannya tak pantas.

"Begitukah?" Lirih Gempa, dirinya segera memasang senyuman ketika Halilintar menoleh ke arahnya.

"... Apa ada sesuatu yang mengganggu-mu, Gem?"

"Ah? Tidak, kok. Kenapa kau bertanya seperti itu, Hali?"

"Senyumanmu terasa aneh."

Gempa tanpa sadar menyentuh ujung bibirnya. Dia yakin bahwa kedua sudut bibirnya terangkat ke atas, tapi mengapa Halilintar berkata demikian? Seakan-akan dia tahu Gempa berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya.

"Iya? Mungkin cuma bayanganmu." Gempa mengalihkan perhatiannya pada lantai, Halilintar terus menatapnya.

Mereka berdua terdiam, sama-sama tidak tahu harus mengatakan apa. Sampai sebuah suara familiar menginterupsi momen canggung mereka. Suara ini tidak lembut sama sekali, setiap katanya bagai dia ucapkan sekuat tenaga.

"Hali!!!!!"

"Kak, jangan kencang-kencang! Ini kelas orang."

Ya, siapa lagi kalau bukan Taufan dan Solar?

Mereka berada tepat di depan pintu masuk kelas, menunggu Halilintar keluar. Mereka bertiga berniat pulang bersama.

Halilintar mendengus seketika. Gempa kembali bertanya. "Kalian ada janji?"

"En. Kau juga lewat gerbang belakang sekolah, kan? Ayo aku temani." Usul Halilintar.

Gempa memberi senyuman tak berdaya, dia menggelengkan kepalanya. "Aku harus pergi ke rumah orang tuanya Egidiana, jadi hari ini aku pakai gerbang depan sekolah. Dia tidak masuk sekolah, tidak ada surat izin apapun. Sebagai ketua kelas, aku khawatir."

Halilintar mengernyitkan kening. Lagi, rasa cemburu ini..

"Oke, aku pergi dulu. Sampai jumpa nanti, Gem."

"Sampai jumpa, Hali."

Halilintar melenggang pergi menemui Taufan dan Solar. Melihat Halilintar mendekat, Taufan melemparkan protes. "Lama sekali, kau sedang bertelur di kelas?"

"Berisik. Kau pilih diam atau aku tonjok?"

"Kenapa kau selalu bawa serius semua yang aku katakan? Aku cuma bercanda, loh!" Taufan mulai berjalan, diikuti Solar. Halilintar sempat melambaikan tangan pada Gempa sebelum mengekori mereka berdua.

"Kau sendiri? Terlalu banyak bercanda, tidak pernah serius."

"Uwah, tega! Solar, bantu back-up!!"

"Jangan ajak aku dalam masalahmu, Kak."

"Huh, kau sama saja ternyata!"

Suara mereka semakin samar. Gempa menurunkan tangannya yang dia gunakan untuk membalas lambaian Halilintar.

Senyum Gempa menghilang dari wajah, tergantikan raut wajah sedih.

***

Di perjalanan menuju ke istana Wind Kingdom, Taufan merasa tidak nyaman. Dia mengutarakan pikirannya secara terang-terangan.

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang